TANJUNGPINANG (HAKA) – Penyidik Bidang Intelijen Kejati Kepri, menaikan status kasus dugaan Tipikor pembangunan Jembatan Tanah Merah Desa Penaga, Bintan ke tingkat penyidikan pada Rabu (3/8/2022).
Kasi Penkum Kejati Kepri Nixon Andreas Lubis mengatakan, statusnya naik ke penyidikan, karena ditemukan ada indikasi kerugian negara sekitar Rp 11,6 miliar.
“Hingga saat ini Penyidik Pidsus sudah memeriksa 9 orang,” ucapnya, Sabtu (6/8/2022).
Sembilan saksi yang telah diperiksa itu berasal dari unsur Aparatur Sipil Negara (ASN) dan pihak swasta. Di antaranya, ada dari Badan Pengusahaan (BP) Kawasan Bintan periode sebelumnya.
“Ada inisial B dari BP Kawasan Bintan yang diperiksa,” ucap Nixon, juga enggan memberikan keterangan lebih jauh soal materi pemeriksaan para saksi.
Sebelumnya, Asintel Kejati Kepri Lambok Sidabutar, mengatakan di tahap puldata dan pulbaket peyelidikan, pihaknya telah memintai keterangan kepada pihak BP Batam, BP Bintan, konsultan serta perusahaan-perusahaan yang mengerjakan proyek itu sebanyak 11 orang.
Mulai dari Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dari Badan Pengusahaaan (BP) Kawasan Otorita Batam, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) berasal dari BP Kawasan Bintan.
“Pihak penyedia barang dan jasa, Pokja ULP, konsultan pengawas, dan pihak BPK. Sedangkan, Kepala BP Bintan belum dimintai keterangan, nanti di Bidang Pidsus,” terangnya.
Ia menerangkan posisi singkat kasus korupsi jembatan itu yakni, untuk paket pekerjaan pembangunan jembatan Tanah Merah di Teluk Bintan dengan nilai kontrak Rp 9,66 miliar pada tahun 2018.
Kegiatan itu dikerjakan oleh penyedia jasa dari PT BFG dan Konsultan Pengawas CV DS dengan masa kerja selama 150 hari kalender. Namun, mereka tidak menuntaskan proyek jembatan itu hingga 14 Desember 2018.
Alasannya, PT BFG tidak dapat mendatangkan tenaga ahli, serta tidak dapat mendatangkan alat, dan supply material tiang pancang yang menjadi pekerjaan utama.
“Sehingga, PPK melakukan pemutusan kontrak kepada PT BFG karena kondisi ril progres pekerjaan hanya 35,35 persen. Dengan realisasi pembayaran Rp 3,5 miliar,” jelasnya.
Di tahun 2019, pekerjaan kembali dilanjutkan dengan pagu anggaran Rp 7,5 miliar. CV BML ditunjuk sebagai penyedia jasa dengan nilai kontrak Rp 7,3 miliar lebih, dan konsultan pengawasnya dari CV PPC.
Setelah PPK, konsultan pengawas dan penyedia jasa melakukan rapat evaluasi ternyata ditemukan sejumlah permasalahan. Di antaranya, ada perbedaan desain awal perencanaan dan komponen material bangunan.
Selanjutnya, terjadi penurunan tanah timbunan yang telah terpasang yakni, melampaui estimasi perhitungan mekanika tanah akibat karakteristik tanah yang lunak.
“Bahwa meskipun para pihak tersebut sudah mengetahui adanya permasalahan di atas, PPK tetap melakukan pembayaran sebesar 100 persen terhadap progres pekerjaan itu,” tutup Lambok. (rul)