Oleh:
drh. Iwan Berri Prima
Kepala Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan, Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Bintan.
MEWUJUDKAN pangan yang sehat dan bergizi, tentu tidak terlepas dari peranan ketersediaan produk pangan asal hewan seperti daging sapi, daging ayam, telur dan ikan. Selain mengandung protein yang sangat dibutuhkan oleh tubuh, produk pangan ini juga dapat dikembangkan di berbagai tempat di nusantara.
Demikian juga dengan pangan asal tumbuhan, seperti tanaman pangan dan Hortikultura, juga dapat berkembang dengan baik di negeri Indonesia ini. Dengan kata lain, penguatan sektor teknis pangan menjadi kunci penting bagi pemenuhan ketahanan pangan nasional.
Namun, sejauh mana pemerintah telah serius mengembangkan sektor teknis pangan? Ini yang masih menjadi pekerjaan rumah.
Alih-alih mewujudkan program swasembada pangan berupa penguatan sektor peternakan dan sektor pangan lainnya, pemerintah justru membentuk badan baru, yakni badan gizi nasional. Padahal, sebelumnya sudah ada badan pangan nasional yang di dalamnya juga terdapat Deputi Bidang Kerawanan Pangan dan Gizi. Deputi ini juga mengurusi tentang gizi.
Hasilnya, untuk menghindari tumpang tindih kewenangan, Deputi ini akhirnya digabung dengan Badan Gizi Nasional. Hal ini sesuai dengan Perpres Nomor 83 Tahun 2024.
Akan tetapi timbul pertanyaan: dengan berkurangnya kewenangan Bapanas di sektor Gizi, lantas tugas Bapanas akan seperti apa? Apa bedanya lembaga ini dengan kementerian/dinas teknis?
Dalam tataran Pemerintahan Daerah misalnya, Bidang Ketahanan Pangan yang merupakan “perpanjangan tangan” Badan Pangan Nasional di daerah tampaknya juga masih gamang. Bidang ini hampir belum bisa berdiri sendiri. Karena semua yang berkenaan dengan urusan pangan, sejatinya telah dilaksanakan oleh sektor teknis.
Seperti urusan peternakan, dilaksanakan oleh Bidang Peternakan, urusan tanaman pangan seperti Padi, Jagung, Kedelai, Ubi dan lain sebagainya telah dilakukan oleh bidang Tanaman Pangan.
Demikian juga dengan sektor Hortikultura dan sektor Perikanan, semuanya juga secara teknis telah dilaksanakan oleh dinas teknis.
Walakin, tanpa mengecilkan peranan bidang ketahanan pangan di daerah, munculnya usulan tentang reorganisasi urusan pangan di daerah perlu segera dilakukan. Karena terbukti, anggaran yang dialokasikan untuk bidang ketahanan pangan justru lebih tinggi, dibandingkan dengan anggaran di sektor teknis pangan itu sendiri.
Permasalahan Bidang Ketahanan Pangan di Daerah
Sejauh ini, urusan pangan di daerah masih diasumsikan hanya sebagai urusan bidang ketahanan pangan. Sementara, urusan teknis pangan, seperti peternakan, tanaman pangan dan hortikultura dinilai hanya sebagai urusan pilihan pertanian. Termasuk perikanan, juga hanya masuk dalam urusan pilihan perikanan.
Namanya juga urusan pilihan, Pemda tidak wajib untuk menganggarkan anggarannya dalam postur APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). Sehingga wajar jika anggaran untuk urusan pilihan, tidak sebesar urusan wajib, karena urusan pangan adalah urusan wajib bagi pemerintahan daerah. Artinya, daerah wajib memberikan anggaran pangan dalam postur APBD.
Adapun suatu daerah memiliki anggaran teknis pangan yang sangat besar dibandingkan urusan pangan, itu lebih banyak karena faktor kepala daerahnya. Biasanya, kepala daerah yang suka akan pertanian, peternakan, perikanan dan tanaman pangan hortikultura, maka akan membesarkan anggaran di sektor pilihan ini. Atau karena faktor kepedulian anggota DPRD, sehingga menganggarkan melalui dana Pokirnya.
Oleh sebab itu, melihat kondisi ini, cepat atau lambat, ini harus segera dibenahi. Apalagi, dampaknya sudah terasa. Di daerah sudah mulai banyak Aparatur Sipil Negara (ASN) yang “bertungkus lumus” di teknis pangan namun anggaran terbatas, akan merasa “insecure” dengan besarnya anggaran di bidang ketahanan pangan.
Belum lagi, pekerjaan bidang ketahanan pangan dinilai hanya sebatas mengumpulkan data dari bidang teknis. Kemudian merapatkannya dengan perjalanan dinas yang ditanggung negara. Sementara, bidang teknis yang susah payah untuk mendapatkan data itu, belum tentu mendapat anggaran untuk perjalanan dinasnya.
Selanjutnya, tumpang tindih kegiatan bidang ketahanan pangan juga dinilai kerap terjadi. Sebagai contoh kegiatan Gerakan Pasar Murah atau gerakan pangan murah. Kegiatan ini juga sering dilaksanakan oleh Dinas Perdagangan melalui Operasi Pasar Pangan Murah (OPM). Artinya, ini tentu berakibat pada keuangan negara yang menjadi mubazir.
Demikian juga dengan kegiatan perlombaan Lomba Cipta Menu Pangan Lokal Pangan Beragam Bergizi Seimbang dan Aman (B2SA) yang kerap dilaksanakan bidang Ketahanan Pangan, rasanya bidang teknis atau melalui organisasi PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga) juga dapat melakukannya alias tanpa harus ada lnstansi khusus untuk melaksanakan kegiatan ini.
Di samping itu, di tataran pengawasan keamanan pangan, bidang Ketahanan pangan di daerah juga dinilai hanya melakukan pengawasan pangan segar asal tumbuhan. Tidak semua pangan. Sedangkan pengawasan keamanan pangan segar asal hewan masih dilaksanakan oleh Bidang Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet). Lantas jika ini yang terjadi,maka dimana letak urgensinya ketahanan pangan di daerah itu?
Semoga kita mampu jujur dan segera membenahi persoalan ini untuk kemajuan Indonesia dan kemandirian pangan di republik tercinta ini. Semoga pemerintahan baru kelak mendengar persoalan ini. Semoga!