
Oleh:
Arga Permadi
Direktur Utama hariankepri.com
BEBERAPA hari ini, netizen Tanjungpinang dihebohkan dengan kasus Mr Blitz versus eks karyawannya, yang mana ijazah mantan karyawan Mr Blitz itu ditahan hingga akhirnya hilang. Ujuk-ujuk ada solusi, mantan karyawan ini malah mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari oknum aparat, ketika menagih ijazahnya, seperti yang ia beberkan di beberapa media massa.
Bahkan, akibat dari mencuatnya kasus ini, ada netizen yang memposting provokasi untuk memboikot Mr Blitz. Ada yang pro, ada juga yang kontra. Namun, menurut Saya sendiri agak berlebihan jika harus muncul isu boikot.
Saya termasuk yang salut dengan pemilik Mr Blitz meski tak pernah kenal, apalagi bertemu langsung dengannya. Saya sering sampaikan kepada tim media Saya, bahwa Mr Blitz bisa menjadi brand lokal Tanjungpinang. Mampu menciptakan lapangan kerja, malah bisa menyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) kepada pemko Tanjungpinang dari pajak restoran.
Tentu saya meyakini, pemiliknya sangat konsisten dan mampu membaca peluang pasar untuk restoran cepat saji yang sesuai dengan penduduk muda Tanjungpinang. Kita bisa lihat bagaimana perkembangan resto pertama mereka di Jalan Basuki Rahmat Batu 4, Tanjungpinang.
Dari mulai ruko biasa yang akhirnya disulap menjadi tempat nongkrong kekinian. Dengan nama yang unik, mudah diingat dan trendi. Gen Z dan Gen Y di Tanjungpinang pasti semua tahu dengan Mr Blitz. Termasuk kedua anak Saya, yang cukup sering makan siang atau sekedar duduk nongkrong di restoran ini.
“Harganya murah, rasanya enak, tempatnya juga nyaman Pa,” komentar anak Saya.
Membangun brand tentunya tidak gampang. Dan ini cukup berhasil dilakukan pemilik Mr Blitz, hingga mampu membuka resto kedua di daerah Batu 10 dengan konsep yang megah mirip restoran cepat saji McD dan KFC.
Bahkan menurut Saya membangun resto yang sudah punya nama pun tidak gampang. Pemilihan lokasi tempat, cita rasa, target sasaran dan harga sangat menentukan utamanya di Tanjungpinang yang sebagian besar pelanggannya sangat sensitif dengan harga. Ini pengalaman pribadi ketika Saya membuka resto franchise di Tanjungpinang. Makanya Saya cukup salut dengan konsistensi pemilik Mr Blitz hingga mampu seperti saat ini.
Kembali ke isu Mr Blitz. Menurut Saya permasalahan hilangnya ijazah bisa diselesaikan, mau dengan pilihan secara kekeluargaan, ataupun dimediasi oleh pihak terkait. Namun untuk isu boikot dari netizen seharusnya tidak sampai terjadi.
Jika kita perhatikan, ada beberapa catatan dari narasi netizen tersebut terkait Mr Blitz seperti, gaji tidak sesuai UMK, tidak adanya BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan bagi karyawan. Jika ini benar, sebaiknya pihak managemen Mr Blitz segera membenahinya.
Karyawan harus mulai diposisikan sebagai aset. Karena mereka lah yang menunjang penjualan dan menjadikan Mr Blitz seperti saat ini. Memberikan kenyamanan, keamanan dan keselamatan kerja harus menjadi hal utama dalam mempekerjakan karyawan.
Saya yakin, pemilik Mr Blitz adalah pengusaha andal yang sudah tahu mana hak dan kewajiban sebagai pengusaha. Sebelum membangun Mr Blitz tentunya sudah menghitung segala biaya, target penjualan, kewajiban pajak dan beban gaji karyawan, dan berapa lama akan Break Event Point (BEP).
Jika dasar-dasar ini telah dijalankan, Saya rasa bukan sesuatu yang sulit bagi Mr Blitz untuk memenuhi standar perusahaan dalam melindungi karyawan. Malahan, saya berpikir dengan rekam jejak Mr Blitz hingga bisa membuka resto kedua yang cukup megah, narasi yang dibuat oleh netizen tadi harusnya tidak benar.
Jika melihat size usahanya, di resto yang baru dengan nilai properti yang cukup tinggi, tentu pemiliknya telah mengalokasikan modal dan kas untuk perusahaan minimal untuk 1 tahun ke depan sejak beroperasi.
Memberikan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan selain amanat undang-undang juga merupakan bentuk investasi terhadap karyawan. Adapun biaya BPJS Kesehatan itu sekitar Rp 172.500 per karyawan, ini tagihan perusahaan Saya ya. Tinggal kalikan saja jumlah karyawan dari setiap perusahaan atau restoran.
Untuk BPJS Ketenagakerjaan jika mengikuti UMK Tanjungpinang, maka iuran per karyawan Rp 206.548. Kedua iuran ini bisa dibebankan sebagian kepada karyawan sesuai aturan di BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan. Kalau Saya memilih tidak dibebankan ke karyawan tapi semua ditanggung perusahaan.
Jika perusahaan membayar BPJS Kesehataan, manfaat yang didapat ketika karyawan dalam kondisi sakit tentunya bisa ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Dan jika terjadi kecelakaan kerja, pengusaha pun tidak pusing dengan biaya jika telah membayar BPJS Ketenagakerjaan.
Selain manfaat itu, BPJS Ketenagakerjaan juga memberikan Jaminan Hari Tua (JHT) yang bisa diklaim, jika karyawan tersebut tidak lagi bekerja di perusahaan kita. Inilah bentuk perhatian berupa asuransi ataupun tabungan dari perusahaan kepada karyawannya.
Ketika karyawan Saya berhenti setelah 7 tahun bergabung dengan perusahaan, karena menjalankan bisnis pribadinya, dengan terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan, ia punya modal dari klaim JHT untuk membesarkan usahanya.
Dengan memberikan asuransi atau jaminan seperti itu, kemudian penghasilan yang layak, kita juga bisa melihat turn over-nya karyawan dalam perusahaan tersebut. Dan rata-rata perusahaan yang memiliki BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan, serta penghasilan yang layak, tingkat turn over karyawannya lebih rendah. Apalagi juga jika ditunjang dengan fasilitas lainnya dan suasana kerja yang baik untuk karyawan.
Saya cukup lama menghandle Reserch & Development (R&D), Human Resource Development (HRD), Marketing dan Keuangan Perusahaan, hingga merintis usaha sendiri. Meski berbeda-beda jenis dan size usaha, namun pada prinsipnya sama saja dalam mengelola sebuah perusahaan. Hubungan pengusaha dan karyawan itu adalah saling membutuhkan, saling menguntungkan, dan saling melindungi.
Saya berpandangan, bahwa hal-hal seperti ini pasti diterapkan oleh managemen Mr Blitz. Jika saat ini terjadi masalah, anggap saja itu koreksi yang harus dilakukan manajemen Mr Blitz sebagai tanda akan tumbuh dan berkembang lebih besar ke depannya. ***