Oleh :
Ady Indra Pawennari
Wakil Sekretaris KKSS Kepri
KONTESTASI politik nasional Indonesia, mulai tertuju pada pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2024 mendatang. Ini dikarenakan, Presiden Joko Widodo sudah menjabat 2 periode dan sesuai konstitusi dipastikan tidak bisa ikut bertarung lagi.
Sementara wakilnya Ma’ruf Amin, tidak begitu diperhitungkan dalam kalkulasi politik karena beberapa variabel yang tidak mendukung.
Dalam situasi ketika tidak ada calon petahana yang akan bertarung, kontestasi tentu lebih cair dan terbuka. Variabel geografis yang merepresentasikan keterwakilan wilayah semakin penting.
Keterwakilan kandidat dari luar Jawa, khususnya dari Indonesia Timur, dipastikan akan menjadi pertimbangan baik oleh pemilih maupun partai politik.
Peluang tokoh-tokoh dari timur yang sedang dalam kabinet seperti Syahrul Yasin Limpo (SYL) dan Bahlil Lahadalia (BL), tentunya akan terbuka. Begitu pula bagi mereka dari kalangan legislatif seperti Rachmat Gobel (RG) yang saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua DPR RI.
Sementara suara dari tokoh nasional senior seperti Jusuf Kalla (JK) tetap akan sangat berpengaruh, meskipun kemungkinan besar tidak sebagai kandidat yang bertarung.
Di luar nama-nama tersebut, nama Andi Amran Sulaiman (AAS), mantan Menteri Pertanian yang berlatar belakang pengusaha juga sangat pantas untuk dipertimbangkan.
Namun, arus informasi yang begitu cepat dan perkembangan isu-isu publik semakin cair, membuat variabel keterwakilan wilayah belum menjamin keterpilihan nasional.
Para calon kandidat harus mampu keluar dari sekedar mengandalkan sentimen primordial karena tidak begitu menarik bagi para pemilih rasional dan generasi muda yang jumlahnya semakin meningkat.
Political Branding
Para tokoh harus bisa mengusung ide-ide besar nasional, berbicara tentang Indonesia dalam berbagai perspektif dan jika perlu gagasan pembangunan Indonesia dalam percaturan internasional.
Rizal Mallarangeng pernah menempuh cara ini melalui tagline RM09 yang sempat ramai di salah satu stasiun TV nasional seputaran tahun 2008.
Pada periode yang kurang lebih sama, Prabowo Subianto juga melambungkan visi personal dan partainya Gerindra dengan berbicara gagasan ke-Indonesiaan.
Akan tetapi, para tokoh politik juga pada akhirnya paham bahwa telah terjadi pergeseran preferensi rakyat dalam memilih pemimpin, terutama dalam satu dekade terakhir. Rakyat sekarang menuntut lebih dari sekedar retorika.
Kemenangan Joko Widodo, sosok yang tidak terlalu menonjol dalam retorika, namun dikenal melalui kerja-kerja pelayanan publiknya, dalam setiap pemilihan yang ia ikuti adalah bukti dari tesis ini.
Karena itu, para tokoh harus juga menunjukkan kerja-kerja praktis mereka, untuk meyakinkan publik bahwa narasi yang dibangun bukan sekedar utopia. Ini adalah bagian dari branding politik dari tokoh yang bersangkutan.
Political branding atau penokohan politik ini selanjutnya, membutuhkan panggung yang secara konsisten membentuk dan merawat ingatan publik hingga ke masa menjelang pemilihan.
Persyaratan ini tentu memberi keuntungan tersendiri bagi mereka yang sedang dalam kekuasaan atau memegang jabatan tertentu. Tokoh-tokoh seperti SYL, BL, dan RG yang memiliki jabatan dan otoritas politik untuk menunjukkan kerja-kerja yang bersentuhan langsung dengan pelayanan publik.
Sementara bagi yang tidak (atau yang purna?) seperti AAS, harus mendesain panggung sendiri untuk setidaknya menarik perhatian publik. Desain panggung dapat juga berbentuk penokohan (branding) yang mudah diterima oleh publik. Ini tentunya akan menjadi tantangan tersendiri.
Namun biasanya orang timur, apalagi pengusaha seperti AAS, sangat senang dengan tantangan. Mereka tumbuh dan besar dengan tantangan. Mereka tidak perlu diyakinkan untuk menjawab tantangan. Tinggal bagaimana memformulasikan strategi yang tepat untuk itu.
Panggung virtual bagi AAS
Lalu bentuk penokohan seperti apa yang cocok untuk seorang AAS?
Situasi kontemporer dan tantangan masa depan membuat masyarakat akan semakin bersentuhan dengan teknologi yang diproduksi oleh industri-industri.
Isu-isu industri akan mendapatkan ruang tersendiri di pikiran dan hati publik, yang secara otomatis menciptakan panggung virtual-bukan fisik seperti jabatan politik.
Para industrialis akan dianggap layak sebagai pemimpin publik karena menjadi pelopor pertumbuhan ekonomi, sekaligus mampu mengawal kedaulatan negara.
Gagasan menuju negara industri ini tidak bisa dihindari. Karena itu, AAS perlu mempertimbangan branding politik sebagai pelaku utama industri nasional.
AAS harus dicitrakan sebagai sosok yang mampu membawa Indonesia menjadi negara industri modern. Dengan branding seperti ini, maka AAS akan berselancar di atas gelombang besar yang merupakan energi yang berpotensi membangkitkan efek elektoral secara signifikan.
AAS perlu ditokohkan sebagai inspirasi dalam pembukaan lapangan kerja, dan mendukung inovasi berbasis teknologi. Strategi penokohan harus menegaskan bahwa AAS adalah bagian dari fondasi yang menopang Indonesia sebagai sebuah bangsa siap menghadapi tantangan masa depan.
Penokohan sebagai seorang industrialis modern sesungguhnya tidak begitu jauh dari kehidupan AAS. Kalaupun saat ini beliau lebih dikenal sebagai mantan menteri pertanian, tapi narasi bisa diarahkan pada kerja-kerja industri selama beliau menjabat dalam bentuk promosi mekanisasi pertanian dan perkebunan.
AAS telah terbukti mampu memberi jawaban atas keterbatasan tenaga kerja dan rendahnya produktifitas lahan melalui mekanisasi.
Penegasan sebagai seorang industrialis 4.0 misalnya juga akan membantu membuka (uncover), pengetahuan publik tentang sosok AAS selaku orang yang berperan penting dalam berdirinya pabrik gula berteknologi canggih sekaligus yang terbesar di Indonesia yang dimiliki oleh pengusaha dalam negeri.
Elaborasi informasi AAS sebagai tokoh industri modern tanah air, tentu akan dan harus berkembang di sektor-sektor lain misalnya industri pertambangan dan mineral, pariwisata, perikanan, pertanian, dan teknologi informasi.
Dalam konteks sebagai seorang Industrialis 4.0 dari Timur, AAS kemudian akan menemukan perspektif untuk mengkomunikasikan gagasan besar dalam membangun Indonesia secara politik dan ekonomi.
Positioning seperti ini akan membantu AAS dalam mendiseminasi ide-ide strategis misalnya konsep pertahanan dan keamanan nasional, inklusi sosial, kedaulatan energi, serta peran dan posisi Indonesia dalam hubungan internasional.
Strategi penokohan selanjutnya akan lebih terarah jika telah ada penegasan positioning seperti ini. Industrialis 4.0 telah terbit dari Timur!.***