JAKARTA (HAKA) – Jaksa Agung ST Burhanuddin, melalui Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Leonard Eben Ezer Simanjuntak menegaskan, tidak benar (hoax) tentang beredarnya video seorang jaksa menerima suap dalam sidang kasus Habib Rizieq Sihab (HRS).
Ia menerangkan, video tersebut telah beredar luas di media sosial baik facebook, twitter, instagram maupun youtobe.
Video itu sambung Leonard, mengkaitkan dengan penjelasan Yulianto selaku Kepala Sub Direktorat Tindak Pidana Korupsi, Direktur Penyidikan JAM Pidsus terhadap media pada tahun 2016 silam.
“Dengan narasi video itu, terbongkar pengakuan seorang jaksa yang mengaku menerima suap kasus sidang HRS, innalillah semakin hancur wajah hukum Indonesia,” ucapnya menirukan judul video hoax itu.
Terkait isi beredarnya informasi tersebut, Leonard menyatakan beberapa hal. Yakni, bahwa video penangkapan seorang oknum jaksa inisial AF oleh Tim Saber Pungli Kejagung adalah, peristiwa yang terjadi pada November 2016 silam. Artinya, bukan merupakan pengakuan jaksa yang menerima suap kasus sidang HRS.
Kemudian, penangkapan oknum Jaksa AF di Jawa Timur tersebut, terkait pemberian suap dalam penanganan perkara Tipikor penjualan tanah kas desa, di Desa Kali Mok, Kecamatan Kalianget, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur (Jatim).
Berikutnya, pejabat yang menjelaskan penangkapan oknum Jaksa AF pada video tersebut, adalah Jaksa Yulianto SH MH, saat ini sudah menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Terakhir, video penangkapan oknum Jaksa AF, tidak ada sama sekali kaitannya dengan proses sidang Muhammad Rizieq alias HRS, pada sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Sabtu (20/3/2021).
“Kami meminta masyarakat, untuk tidak menyebar-luaskan video tersebut, serta tidak mudah percaya dan terprovokasi dengan berita bohong atau hoax, sebagaimana video yang sedang beredar saat ini,” jelasnya.
Kejagung juga mengimbau, agar masyarakat tidak membuat berita yang tidak benar kebenarannya, serta menyebar-luaskannya kepada publik, melalui jaringan medsos.
Sebab, perbuatan itu dapat menjerat warga dengan Undang Undang nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang Undang nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik (ITE).
“Khususnya pasal 45A ayat (1), dengan pidana penjara 6 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar,” pungkasnya. (rul/rilis)