Oleh:
Suyono Saeran
PAGI tadi, Senin (24/8/2020) saya ngopi bersama dengan Pak Ansar (Ansar Ahmad) di Kedai Kopi Wak Is di dekat Bandara.
Ikut menemani ada Ketua Dekopinwil Kepri Sugito Rusmin, dan Sekretaris Golkar Tanjungpinang Untung Budiawan. Diskusi politik mengalir hangat sehangat secangkir kopi yang baru dihidangkan.
Di tengah diskusi tersebut, sengaja saya tunjukkan beberapa postingan hatters di mediia sosial yang menghujat dan caci maki ke Pak Ansar. Dia baca satu persatu postingan di medsos tersebut.
Sebagai manusia normal, siapa pun yang baca postingan para hatters tersebut pasti akan tersinggung, emosional dan mungkin marah.
Karena, beberapa ungkapan yang mereka tulis di medsos tersebut tidak hanya menyerang dirinya, tetapi juga anak dan istrinya. Mulai ungkapan-ungkapan kasar, sindiran keras, sampai bahasa satir yang menusuk.
Tetapi ketika membaca serangan para hatters tersebut, sama sekali tidak menunjukkan reaktif emosi di wajah Ansar Ahmad.
Dia tetap tersenyum. Dia hirup secangkir kopi hangat di depannya. Seteguk yang mengalir perlahan di kerongkongannya, dia nikmati sambil terpejam.
“Tidak ada yang sempurna dalam hidup ini. Yang terbaik adalah bagaimana kita bersikap ketika kita dihadapkan pada sebuah persoalan. Dan itu kuncinya di hati,” katanya lembut sambil kembali meneguk kopi hangat di depannya.
Saya terdiam. Tenggorokkan saya seperti tercekat. Awan pagi yang dari tadi terlihat bergulung mendung perlahan memudar. Reaksi Pak Ansar tersebut memang cukup mengagetkan saya.
Ketika emosi dipancing, dia tetap tersenyum. Ketika caci maki dilemparkan ke dirinya, dia tetap sabar.
Saya teringat sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim. “Ketahuilah, sungguh di dalam tubuh itu ada segumpal daging. Jika daging tersebut baik, baiklah seluruh tubuh. Jika dia rusak, rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati”.
Ya, benar kata Pak Ansar tadi. Kuncinya di hati.
Saya kemudian mencoba merunut perjalanan ke belakang selama saya mendampingi Pak Ansar.
Saya masih teringat, ketika dirinya ikut lagi pemilihan Bupati Bintan, untuk yang kedua kalinya pada tahun 2010.
Meski saat itu namanya sangat kuat untuk diunggulkan terpilih kembali sebagai Bupati Bintan, namun tidak sedikit yang mengkritiknya dengan nada kebencian yang absolut.
Mereka-mereka ini banyak juga dari ASN, Ormas, LSM dan tokoh politik. Pada hal prestasi Ansar Ahmad sebagai Bupati Bintan di periode pertama juga sudah cukup bagus.
Banyak kerja prestisius yang dihasilkan di Bintan. Namun, mereka para pengibar bendera kebencian tetap istiqomah di ruang caci maki, di hulu dendam serta di belantara wak sangka dan curiga yang ditujukan ke Ansar Ahmad.
Mereka sengaja memproduksi kebencian yang dia jual di kedai kopi-kedai kopi, dan ruang publik dengan kata-kata yang sama. Seperti yang terlontar di medsos saat ini: keling, benggali, rakus dan membangun dinasti.
Tapi Ansar Ahmad tetap tunjukkan kebesaran jiwanya. Dia tetap rendah hati dan sabar dijadikan panglima. Emosi dan sakit hati dia kunci di ruang gelap yang paling belakang.
Bahkan ketika dia terpilih lagi sebagai Bupati Bintan untuk yang kedua kalinya, mereka-mereka yang selama ini membencinya dia dekati. Dia rangkul sepenuh hati.
Beberapa ASN senior yang waktu Pilbup Bintan tidak suka dan melawan dirinya, dia datangi dan dijadikan pejabat teras di pemerintahan yang dia pimpin.
Beberapa tokoh Ormas, LSM dan politik yang selalu mengibarkan bendera perang, dia ajak bertemu, makan bersama dan dibantu sepenuhnya agar mau bersama-sama membangun Bintan.
Hampir tidak pernah ada sedikit jeda untuk sebuah kata yang namanya balas dendam. Pada hal waktu itu Ansar Ahmad memegang kekuasaan.
Dengan kekuasaan itu, dia bisa saja mengeksekusi secara politik, hukum dan sosial kepada lawan-lawan politik dan orang-orang yang selama ini bersebarangan.
Tapi itu tidak dilakukannya. Karena, dia ingat apa yang diperintahkan-Nya bahwa kekuasaan itu hakekatnya untuk menolong (QS: Al Isra 80).
Dia juga tidak rakus, apa lagi membangun dinasti yang selama ini dituduhkan. Waktu dirinya menjabat sebagai Bupati Bintan.
Tidak serta merta mengangkat adik perempuan, dan keponakan-keponakan yang paling dia sayangi sebagai pejabat teras dan kepala dinas di Pemkab Bintan.
Dia tetap membiarkan berproses secara alami. Bahkan mereka baru bisa duduk jadi pejabat teras, dan kepala dinas ketika Ansar Ahmad tidak lagi jadi Bupati.
Rumah Ansar Ahmad di kilometer 7 Kota Tanjungpinang semua orang tahu. Rumah yang sederhana untuk seukuran anggota DPR RI dan mantan bupati dua periode.
Rumah itu juga terbuka untuk siapa saja yang ingin berkunjung dan bersilaturahmi. Istri dan anak Ansar Ahmad juga tergolong masyarakat yang biasa saja dan jauh dari eksklusifisme.
Istrinya, Dewi Kumalasari, yang saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Kepri dikenal sebagai tokoh wanita yang lembut, tidak menjaga jarak dengan siapa pun dan sudah dianggap “ibu” bagi masyarakat Bintan.
Anak laki-lakinya, Roby Kurniawan, juga dikenal sebagai anak muda humble. Gaya bicaranya lemah lembut, selalu menjaga etika dan kesopanan, dalam pergaulan serta tidak pernah menunjukkan kalau dirinya anak seorang pejabat.
Soal penilaian memang sangat subyektif. Begitu juga dengan siapa dan bagaimana Ansar Ahmad beserta keluarganya. Masing-masing orang tentu punya penilaian yang berbeda.
Saya hanya menuliskan sesuatu yang saya tahu setelah belasan tahun mendampinginya menjelajahi Kepulauan Riau, sebuah negeri yang kita cintai. Sebuah negeri para pengopi.***