QC juga semestinya hanya diumumkan sekali sesuai prinsip “once final announcement”. Namun, yang terjadi seringkali diumumkan sejak persentase awal dan berubah-ubah, data tidak stabil dan terkesan seperti drama.
QC bukan sekadar adu cepat, tetapi juga merupakan bagian dari instrumen pemantauan pemilu. Nah, yang terjadi pada setiap gelaran pemilu sekarang adalah, pemaksaan tampil prima dan paling cepat dari masing-masing lembaga survei.
Dalam kaitan dengan survei politik, sikap para politisi lebih mendorong populisme, ketimbang pembuatan kebijakan rasional, dan pembangunan institusi politik.
Selain itu, survei bisa menjadi instrumen yang bias dan manipulatif dalam kontestasi dan intrik antarelit (Jacob dan Saphiro, 2005).
Memilih calon berdasarkan hasil survei, dan bukan pada platform politiknya, hal tersebut terbukti merusak fungsi parpol sebagai alat representasi dan agregasi, menempatkan citra politik di atas platform subtansi kebijakan.
Survei sebagai sebuah industri, lembaga survei terlibat langsung ‘perang elektoral’. Memenangkan klien atas dasar uang, mengorbankan metodologi dan kredibilitas lembaga, hingga menguatkan tuduhan survei dapat dimanipulasi.
Dan survei menjadi jualan para calon dan kandidat, untuk menggoda para donatur/sponsor, yang akan mendanai pencalonannya.
Tantangan untuk Lembaga Survei ke depan adalah, pertama, memulihkan kepercayan publik. Ini adalah tantangan terpenting pollster dewasa ini, dan akan sangat ditentukan oleh kredibilitas serta integritas masing-masing pollster.