Site icon Harian Kepri

Cerita Sekolah Demokrasi LP3ES: Seprai Bagus Tidur Nyenyak, Survei Bagus Sponsor Banyak

Oleh : Buana Fauzi Februari

SELESAI menunaikan salat Jumat 21 Agustus 2020, saya masih meresapi keadaan. Karena suasana 75 tahun Dirgahayu Republik Indonesia, masih terasa.

Dan semangat hijrah ke arah lebih baik di tahun baru Islam 1442 Hijriah, masih menyelubungi aura kehidupan saya yang di tahun ini menginjak usia 40 tahun. Usia yang menurut orang adalah saat dimulainya hidup, life begins forty.

Di bulan ini banyak sekali kejutan dalam hidup saya. Di awal bulan saya mengikuti sertifikasi BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi ), di bidang konsultan hukum pertambangan dan direkomendasikan kompeten.

Lalu, di pertengahan bulan, sebuah pemberitahuan dari LP3ES (Lembaga Penelitian Pendidikan Penerangan Ekonomi dan Sosial), menyebut saya terpilih sebagai salah seorang peserta, Sekolah Demokrasi untuk Angkatan ke II.

Yang kali ini, diselenggarakan secara daring. Mengingat, masih tingginya ancaman Covid-19 di Jakarta. Masuknya nama saya sebagai peserta SekDem II begitu mengejutkan.

Karena, dari 600 lebih yang mendaftar se-Indonesia, hanya 40 orang yang dipilih secara ketat dan saya di antaranya.

Hingga kemarin pun, saya juga terima surat dari Universitas Sahid yang menyatakan, saya diterima sebagai calon mahasiswa pascasarjananya. Untuk semua itu, Alhamdulillah.

Keluar masjid saya segera mencari tempat untuk bisa duduk membuka laptop dan terhubung ke aplikasi zoom. Karena sesuai jadwal, jam 13.30 WIB ini adalah sesi ke 6 dari Sekolah Demokrasi II yang saya ikuti.

Materi pada sesi ini adalah, Survei Politik, Dinamika Elektoral dan Demokratisasi yang akan disampaikan oleh Fajar Nursahid (Direktur Eksekutif LP3ES).

Membaca judulnya saja sudah menggelitik naluri politik saya. Materi ini sangat pas, dengan kondisi kekinian menjelang Pemilihan Kepala Daerah serentak 9 Desember mendatang.

Dalam paparan nya Fajar menyebut, Ciri demokrasi (Dahl, 1999): tersedianya informasi alternatif sebagai syarat penting demokrasi.

Produksi pengetahuan oleh lembaga di luar negara menjadi penting dan relevan. Survei dan lembaga-lembaga jajak pendapat, lazim hanya ada di negara-negara demokratis, yang memberikan jaminan kebebasan sipil dan politik yang substansial. Tidak ada di negara pseudo-demokrasi, atau bahkan otoriter.

Jadi survei politik sebagai ragam penelitian sosial yang tugas utamanya adalah, memproduksi pengetahuan, sehingga tentu harus tunduk pada kaidah ilmiah.

Adapun kekuatannya terletak pada generalisasi dan proyeksi. Survei juga tidak ada urusan dengan menang atau kalah, populer atau tidak populernya seorang calon.

Sebagai bagian dari aktivitas penelitian sosial, survei politik harus transparan dan akuntabel, hal yang harus dibuka secara penuh. Meliputi prosedur, metodologi, hasil, dan pendanaan/sponsorship.

LP3ES sendiri merupakan lembaga perintis untuk urusan survei politik. Bahkan sejak tahun 1997, sudah merilis Quick Count (QC).

Pertumbuhan Pollster, sebutan untuk lembaga survei, mulai bersemi dari tahun 2004 dan semakin membludak di tahun 2019.

Tercatat, 56 Pollster yang terdaftar di KPU, dan di Pemilu 2014 itu jugalah terjadi tragedi quick count, dengan hasil yang terbelah.

Berikut catatan kritis terhadap pollster yang melakukan quick count atau survei. Objektivitas dan imparsialitas menjadi syarat penting, karena merupakan proyek ilmiah.

Sehingga, kepercayaan publik seringkali terpengaruh terhadap hasil survei maupun QC, yang Pollster nya juga merangkap sebagai konsultan politik.

QC juga semestinya hanya diumumkan sekali sesuai prinsip “once final announcement”. Namun, yang terjadi seringkali diumumkan sejak persentase awal dan berubah-ubah, data tidak stabil dan terkesan seperti drama.

QC bukan sekadar adu cepat, tetapi juga merupakan bagian dari instrumen pemantauan pemilu. Nah, yang terjadi pada setiap gelaran pemilu sekarang adalah, pemaksaan tampil prima dan paling cepat dari masing-masing lembaga survei.

Dalam kaitan dengan survei politik, sikap para politisi lebih mendorong populisme, ketimbang pembuatan kebijakan rasional, dan pembangunan institusi politik.

Selain itu, survei bisa menjadi instrumen yang bias dan manipulatif dalam kontestasi dan intrik antarelit (Jacob dan Saphiro, 2005).

Memilih calon berdasarkan hasil survei, dan bukan pada platform politiknya, hal tersebut terbukti merusak fungsi parpol sebagai alat representasi dan agregasi, menempatkan citra politik di atas platform subtansi kebijakan.

Survei sebagai sebuah industri, lembaga survei terlibat langsung ‘perang elektoral’. Memenangkan klien atas dasar uang, mengorbankan metodologi dan kredibilitas lembaga, hingga menguatkan tuduhan survei dapat dimanipulasi.

Dan survei menjadi jualan para calon dan kandidat, untuk menggoda para donatur/sponsor, yang akan mendanai pencalonannya.

Tantangan untuk Lembaga Survei ke depan adalah, pertama, memulihkan kepercayan publik. Ini adalah tantangan terpenting pollster dewasa ini, dan akan sangat ditentukan oleh kredibilitas serta integritas masing-masing pollster.

Kedua, memisahkan peran riset dan konsultansi/pemenangan politik. Pasalnya, tak semua pollster didirikan dengan niat untuk proyek ilmiah guna memproduksi pengetahuan. Tak sedikit yang motifnya semata-mata aksi ambil untung.

Ketiga, peran lembaga payung (umbrella organization), untuk konsekuen menegakkan etika dan tata aturan asosiasi.

Keempat, membangun enabling system yang kondusif bagi pertumbuhan survei politik yang lebih baik. Yakni, bagaimana menjaga relasi dengan stakeholders politik, dan relasi dengan media massa.

Kesimpulan akhir proyek elektoral bukan segalanya. Kebutuhan evidence-based policy, terutama oleh sektor pemerintah sebagai policy maker.

Bukan tak mungkin salah satu metodanya menggunakan polling atau jajak pendapat. Pendekatan yang populer dalam penyusunan kebijakan.

Data empirik sebagai basis pertimbangan utama. Varian evidence-based research: profiling, indeks, modelling. Macam-macam indeks bermunculan, seperti “demam Index” (index fever): HDI, HSI, Democracy Index, Governance Index, Indeks Persepsi Korupsi, Indeks Kesehatan Masyarakat Sipil, Indeks Kebahagiaan, Indeks Kerawanan Pemilu, dan lain-lain.

Jadi tulisan saya kali ini baru sedikit dari banyak cerita yang akan saya luapkan pada tulisan saya berikutnya. Terima kasih mas Fajar Nursahid atas materinya, LP3ES telah memberi laluan buat saya berkiprah di jalur politik ilmiah.

Mengawal demokrasi memang bukan hal mudah, banyak pelaku perusak Demokrasi di sekitar kita yang pura-pura terlihat paling demokratis, padahal sejatinya sedang membangun kekaisaran di daerah kekuasaannya.***

Exit mobile version