Angga Minanda, S.IP
Alumni Hubungan Internasional Fisip Unri dan Pemerhati Sosial
Email : anggaminanda1986@gmail.com
No. HP : 081275242509
SUDAH kita ketahui bersama bahwa, ada ribuan, bahkan jutaan rakyat Indonesia yang terdampak, akibat mewabahnya pandemi Covid-19.
Memang mereka bukan Orang Tanpa Gejala (OTG), Orang Dalam Pemantauan (ODP), Pasien Dalam Pengawasan (PDP) atau warga terkonfirmasi positif Covid-19.
Namun, mereka adalah WNI yang sehari-hari harus bekerja untuk mencukupi segala kebutuhan keluarga, dalam kondisi apapun. Penulis baca di merdeka.com (4/4), seorang warga Kota Serang yang bekerja sebagai buruh setrika dengan pendapatan harian, kini sudah tidak bekerja lagi.
Begitu pula suaminya yang kini tidak bekerja lagi sebagai buruh lepas. Kondisi ini membuat mereka dan anak-anaknya tidak makan selama empat hari.
Alhamdulillah, mereka kini mendapat bantuan sembako dari relawan. Sehingga masih ada harapan untuk menyambung hidup.
Di sini penulis ingin menyampaikan, bahwa ada banyak kasus karyawan yang terpaksa dirumahkan, pedagang yang tutup usaha, jasa transport yang sepi orderan, dan sebagainya.
Syukur saja pemerintah tidak tutup mata akan hal ini. Kini sudah berjalan beberapa hari di bulan April. Tercatat pada tanggal 5 April 2020 sebanyak 2.273 orang yang terkonfirmasi positif Covid-19 dan 198 korban jiwa.
Persentase tingkat kematian (case fatality rate) mencapai 9% dan tertinggi di Asia, melampaui China, Korea Selatan dan India.
Reuters memberikan review bahwa Indonesia diperkirakan bakal menjadi episentrum baru wabah Covid-19 di Asia Tenggara. Alasannya, selain merupakan negara dengan populasi terpadat keempat di dunia, Nomura Holdings Inch (perusahaan finansial Jepang) menyebut infrastruktur perawatan kesehatan di Indonesia, kurang memadai dan tenaga medis kekurangan alat pelindung diri (APD).
Tenaga medis berjuang dengan tekad kemanusiaan, rela berkorban dan cinta tanah air. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyebut, bahwa sekitar 25 dokter meninggal dunia akibat Covid-19, dari berbagai provinsi.
Tenaga medis tidak sanggup menangani lonjakan pasien Covid-19 yang tiap hari bertambah ratusan orang.
Selain pemerintah yang kewalahan dengan segala keterbatasan, rakyat pun banyak yang tidak cerdas literasi. Sudah dibuat beragam seruan dan imbauan, agar tidak kemana-kemana (physical distancing), tapi mereka tetap tidak paham.
Masih saja banyak yang mudik ke kampung halaman, kumpul bersama teman-teman di cafe, dengan hiburan live music, atau menikmati secangkir kopi sambil menyimak televisi yang menyiarkan berita nasional di kedai kopi.
Realita seperti ini membuat penanggulangan penyebaran wabah Covid-19 tentu semakin sulit.
Sampai-sampai pihak kepolisian terpaksa melakukan imbauan dengan tegas, agar tidak ada lagi kerumunan warga di tempat umum.
Bahkan kemudian pemerintah membuat payung hukumnya agar tindakan kepolisian ini berefek nyata.
Sejak diumumkan temuan kasus pertama Covid-19 di Indonesia sekitar sebulan yang lalu, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah segera membuat beragam kebijakan, guna meminimalisir mata rantai penyebaran pandemi Covid-19.
Selain itu, kebijakan yang dibuat pemerintah juga ditujukan untuk mengatasi dampak Covid-19, yang mengancam banyak hal (multidimensi).
Apabila tidak disegerakan penanganannya, maka berpotensi merusak sendi-sendi kehidupan bangsa, terutama ketidakpercayaan kepada kredibilitas pemerintah.
Karena tidak bisa dipungkiri, bahwa rakyat memperhatikan bagaimana kesigapan dan kesiapan pemerintah, dalam menghadapi permasalahan ini.
Bagaimana pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam berkolaborasi, bagaimana national leadership yang ditunjukkan presiden dan sebagainya.
Dalam pandangan penulis, terdapat beberapa kebijakan pemerintahan Presiden Jokowi yang sangat menarik untuk diperhatikan.
Dengan keterbatasan yang ada, penulis mencoba untuk menguraikan secara sederhana tiga kebijakan saja. Pertama, meniadakan pelaksanaan Ujian Nasional (UN) 2020 tingkat SMA/MA/SMK, SMP/MTs, dan SD/MI. Presiden Jokowi didampingi Mendikbud, langsung mengumumkan hal ini.
Alasan peniadaan UN 2020 sebagai bentuk respon terhadap pandemi Covid-19, dengan pengutamaan keselamatan kesehatan rakyat dan menjalankan physical distancing.
Presiden Jokowi menyampaikan bahwa inilah momentum bagi pendidikan nasional untuk merumuskan ulang sistem evaluasi, standar pendidikan dasar dan menengah secara nasional, mengacu pada standar Program for International Student Assessment (PISA).
Peniadaan UN ini kemudian memunculkan pertanyaan lain, yaitu bagaimanakah bentuk evaluasi akhir siswa SMA/MA/SMK, SMP/MTs, dan SD/MI tahun ini?
Syukur saja sudah dijawab dengan munculnya SE Mendikbud Nomor 4 Tahun 2020, mengenai opsi penentuan kelulusan siswa. Tapi sayangnya muncul guyonan di media sosial, siswa lulusan tahun ajaran 2019/2020 adalah lulus jalur virus. Ada-ada saja.
Kedua, pembebasan puluhan ribu narapidana (sesuai dengan Permenkumham No. 10 Tahun 2020) sebagai bentuk kemanusiaan dan keselamatan rakyat/warga binaan.
Kondisi ruang tahanan yang penuh sesak (over crowded) dikhawatirkan rawan terjadi penyebaran Covid-19. Selain itu, kebijakan ini akan menghemat anggaran negara sebanyak Rp 260 miliar.
Pembebasan ini sebagai bentuk program asimilasi (proses pembinaan narapidana dengan cara membaurkannya dalam kehidupan masyarakat).
Asimilasi harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang dipantau oleh Kepala Lapas dan Kepala Rutan. Namun, tidak seluruh narapidana mendapatkan asimilasi seperti narapidana koruptor, teroris, narkotika, dan pelaku pelanggaran HAM berat, sesuai Peraturan Pemerintah (PP) No. 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Sayangnya Menteri Hukum dan HAM malah mengusulkan revisi terhadap peraturan tersebut, dengan menamakan tindakan revisi ini sebagai tindakan emergency.
Ketiga, masih dari Kemenkumham yaitu Permenkumham Nomor 11 Tahun 2020 tentang Pelarangan Sementara Orang Asing Masuk Wilayah Negara Republik Indonesia. Munculnya kebijakan ini kalah cepat dengan kehebohan di media massa.
Bulan lalu di beberapa provinsi pernah kita dengar berita sejumlah WNA (Warga Negara Asing) dan TKA (Tenaga Kerja Asing) masuk ke Indonesia. Bahkan mereka berasal dari negara yang terdapat kasus Covid-19.
Pengumuman kasus pertama Covid-19 di Indonesia tanggal 2 Maret sedangkan kebijakan ini mulai berlaku tanggal 2 April. Ada rentang waktu satu bulan dan sudah muncul ribuan kasus terkonfirmasiCovid-19.
Kemudian, pelarangan sementara inipun dengan 6 pengecualian. Penulis tertarik pada pengecualian nomor enam yaitu “Bagi Orang Asing yang akan bekerja pada Proyek-proyek Strategis Nasional”. Bagi penulis, ini adalah celah yang sangat jelas bagi masuknya TKA ke Indonesia.
Siap atau tidak siap, saat ini pemerintah dituntut mampu mengendalikan situasi dan kondisi di dalam negeri. Pandemi Covid-19 telah menyerang banyak dimensi kehidupan berbangsa, tidak hanya menimbulkan korban jiwa dan goncangan kesehatan nasional, tapi juga sudah meluluhlantakkan ekonomi bangsa, sehingga berdampak pada dimensi sosial, politik dan keamanan.
Kini bisa kita temukan gejala social disorder, ketidakpekaan sosial karena ingin selamat sendiri. Politik saling curiga dan saling tuding, takut ditikung akibat pencitraan dan sebagainya.
Jika kebijakan pemerintah tidak solid, komprehensif, integral dan produktif maka kita khawatir hal ini dapat melemahkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Tidak bisa kita pungkiri, bahwa beberapa waktu yang lalu terdapat komunikasi dan koordinasi yang tidak lancar antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, terkait kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan.
Syukur saja, akhir-akhir ini pemerintah pusat bisa meredakan suasana.
Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah (dari berbagai kementerian dan lembaga negara) tidak dapat berdiri sendiri.
Dia akan diikuti oleh beragam tanggapan dan keresahan di masyarakat. Contohnya mengikuti kebijakan peniadaan UN 2020 dan pembebasan narapidana (asimilasi).
Dengan alasan kemanusiaan (keselamatan rakyat) muncul pula petisi di situs change.org dengan judul “Kemdikbud_RI: Karna Covid19, Bebaskan Biaya Kuliah & Tugas Akhir Mahasiswa Semester Akhir”.
Alasan munculnya petisi ini adalah, Covid-19 telah membuat penyelesaian tugas akhir menjadi sulit karena physical distancing membatasi ruang gerak untuk mengadakan pertemuan, kunjungan dan pencarian referensi.
Selain itu, perkuliahan online membutuhkan paket data internet yang tidak sedikit, sedangkan sekarang keadaan ekonomi sedang tidak stabil.
Ditambah lagi, kewajiban membayar uang kuliah karena belum juga menyelesaikan tugas akhir. Hal lainnya adalah permintaan dari sebagian pelamar CPNS 2019 kepada pemerintah agar meniadakan Seleksi Kompetensi Bidang (SKB).
Alasannya adalah keselamatan rakyat, dana pelaksanaan SKB bisa dialihkan untuk penanggulangan Covid-19, kesempatan bagi pelamar CPNS 2020 karena faktor usia sudah di batas akhir persyaratan, dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, pemerintah sebagai pelaksana amanat rakyat diharapkan mampu melaksanakan kajian dan analisis kebijakan agar produk kebijakan yang ada dapat menyelesaikan permasalahan bersama. Marcus Tullius Cicero pernah berujar “Salus Populi Suprema Lex Esto” yang artinya keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi.***