TANJUNGPINANG (HAKA) – Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Kepri mencatat, persentase penduduk miskin di Provinsi Kepri pada Maret 2021 sebesar 6,12 persen atau sebanyak 144,46 ribu jiwa.
“Angka itu menurun 0,01 persen poin dibanding September 2020 yang sebesar 6,13 persen,” ujar Koordinator Fungsi Statistik Sosial BPS Provinsi Kepri, Satriana Yasmuarto, dalam Streaming BRS BPS Provinsi Kepri di akun youtube BPS Provinsi Kepri, Kamis (15/7/2021) kemarin.
Dia melanjutkan, angka itu menempatkan Provinsi Kepri diurutan ke-6 dari 34 Provinsi di Indonesia, untuk provinsi yang persentase penduduk miskinnya paling sedikit selama Maret 2021.
Angka itu juga jauh berada di angka persentase kemiskinan secara nasional yang angkanya sebesar 10.14 persen.
Lebih lanjut ia menyampaikan, persentase kemiskinan di Provinsi Kepri pada Maret 2021 itu, disebabkan oleh beberapa fenomena sosial ekonomi.
Seperti, pertumbuhan ekonomi nasional yang terkontraksi di kuartal I 2021, kemudian pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga pada PDB, laju inflasi, serta perubahan harga eceran beberapa komoditas pokok.
Dipaparkannya, pada periode September 2020-Maret 2021, harga eceran sebagian besar komoditas pokok di Kepri mengalami kenaikan. Seperti daging ayam ras, daging sapi, cabai rawit, telur ayam ras, cabe merah, minyak goreng, gula pasir dan beras.
“Namun, terdapat pula beberapa komoditas yang mengalami penurunan harga antara lain susu kental manis, tepung terigu, dan ikan kembung,” jelasnya.
Selain itu, perubahan persentase pekerja setengah penganggur, perubahan pekerja informal, dan perubahan tingkat pengangguran terbuka juga menjadi fenomena sosial ekonomi.
Dikatakannya, khusus untuk persentase Tingkat Pengangguran Terbuka pada Februari 2021 sebesar 10,12 persen. Angka itu turun sebesar 0,22 persen poin dibandingkan Agustus 2020 yang sebesar 10,34 persen.
“Namun angka ini meningkat jika dibandingkan Februari 2020 yang sebesar 5,98 persen,” sebutnya.
Satriana juga menyampaikan, dalam mengukur persentase angka kemiskinan, BPS Kepri menggunakan sumber data yang berasal dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas).
Sedangkan metode yang digunakan yakni metode kebutuhan dasar (basic needs approach). Yakni, sebuah pendekatan yang memandang angka kemiskinan, sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur menurut garis kemiskinan.
“Sedangkan yang dimaksud dengan penduduk miskin dalam hal ini yaitu penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan,” tuturnya.(kar)