Site icon Harian Kepri

Degradasi Makna Toga

Novi Winarti

Oleh:
Novi Winarti, M.A.
Dosen Tetap Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Maritim Raja Ali Haji

TOGA di Indonesia 25 tahun yang lalu, merupakan seragam yang hanya dikenakan oleh seorang wisudawan tingkat sarjana atau pascasarjana. Namun tidak untuk saat ini.

Hari ini semua tingkatan pendidikan, bahkan hingga yang paling rendah, dan lembaga non formal pun, juga menggunakan Toga saat merayakan kelulusannya.

Sebut saja TK, TPQ bahkan Bimbel anak-anak juga tak terkecuali telah menggunakan seragam Toga saat merayakan kelulusan. Apakah sesuai dan pantas?

Menurut sejarah, Toga merupakan seragam kebesaran “sakral” yang diwarisi oleh Romawi Kuno. Pada zaman Romawi, para pria menggunakan toga untuk mengidentitaskan diri sebagai seseorang yang memiliki status sosial dan kewarganegaraan.

Sebagian sumber sejarah bahkan menyebutkan, toga merupakan pakaian pribumi Italia sejak 1200 SM. Sementara toga sendiri berasal dari Bahasa Latin tego, yang artinya penutup.

Jika ditelusuri di dalam Wikipedia, di beberapa negara tradisi pesta toga (bahasa Inggris: toga party) telah populer dalam beberapa dekade terakhir, umumnya di kolose-kolose dan universitas-universitas.

Kebiasaan ini practice trades on the exaggerated legend of Roman debauchery. “Toga-toga” semacam ini hanya sedikit kemiripannya dengan toga Romawi kuno karena lebih sederhana dan pendek.

Pada masa Romawi Kuno Toga dibuat dari kain dengan ukuran 3 sampai dengan 6 meter, untuk menutupi pakaian. Hingga saat ini banyak makna filosofis dari pakaian toga yang dikenakan oleh seorang wisudawan, mulai dari warna baju toga yang mayoritasnya berwarna gelap, segi topi toga yang membentuk sudut-sudut hingga tali kucir pada topi toga tersebut.

Pertama, warna baju toga yang gelap. Walaupun jika dilihat di dalam sejarah pada zaman Romawi Kuno warna pakaian toga adalah putih, namun saat ini pakaian mayoritas pakaian toga berwarna gelap, bahkan hitam.

Warna gelap toga identik dengan kegelapan dunia tanpa ilmu pengetahuan. Dalam proses pendidikan, kegelapan ini telah disingkap oleh mahasiswa yang telah berhasil menyelesaikannya, sehingga masa depan wisudawan tersebut menjadi lebih cemerlang dan benderang.

Kedua, segi dari topi toga, segi dari topi toga yang membentuk sudut ini menggambarkan bahwa seseorang yang telah wisuda diharapkan mampu berpikir rasional dengan melihat dari berbagai sudut pandang.

Hal ini sangat penting, seorang sarjana tentu saja akan masuk ke dalam dunia kerja dan kehidupan sosial yang tidak hanya ada hitam dan putih sesimpel saat-saat kuliah.

Maka diperlukan kemampuan berpikir yang rasional dan menyeluruh dari berbagai sudut pandang, agar dapat memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi.

Ketiga, tali kucir toga yang pada prosesinya akan dipindahkan dari kiri ke kanan. Makna filosofis dari proses memindahkan tali kucir topi toga dari kiri ke kanan, adalah memindahkan tugas dan beban belajar seseorang yang telah menempuh pendidikan, dengan mengisi otak kirinya hingga S1 di perguruan tinggi untuk belajar lagi dengan mengisi otak kanannya saat ia terjun ke masyarakat dan dunia kerja.

Dengan kata lain, saat seseorang belajar di perguruan tinggi artinya ia sedang mengisi otak kiri, kemudian saat ia lulus, maka selesailah tugasnya untuk mengisi otak kiri. Tahap selanjutnya ialah ia turun ke masyarakat dan dunia kerja, pada saat inilah seseorang akan belajar kembali untuk mengisi otak kanannya.

Oleh karena hal di atas, maka tali toga saat prosesi wisuda dipindahkan dari kiri ke kanan. Jika dapat ditulis secara langsung, “Wisudawan/ti, sudah selesai tugasmu mengisi otak kirimu dengan ilmu pengetahuan.

Sekarang saatnya kamu beralih untuk mengisi otak kananmu di dalam kehidupan masyarakat dan dunia kerja dengan kreativitas, inovasi dan intuisi”.
Dari makna-makna filosofis di atas, tentunya menjadi pemahaman kita semua bahwa toga bukanlah sekedar pakaian yang digunakan untuk merayakan kelulusan, melainkan terdapat makna yang begitu dalam.

Namun hari ini, terdapat pergeseran dan degradasi makna toga, toga tidak lagi digunakan berdasarkan makna-makna filosofisnya, melainkan hanya karena trend.

Mengapa? Karena hari ini toga merupakan pakaian yang sudah biasa digunakan oleh anak-anak hingga dewasa, oleh lulusan TK, TPQ hingga pascasarjana drajat S3.

Menjadi pertanyaan, apa makna filosofisnya anak lulusan TK menggunakan toga saat perpisahan?. Apakah anak lulusan TK telah selesai mengisi otak kirinya?. Apakah mereka juga sudah mampu berpikir secara rasional dan multidimensi?.

Tentu saja ini menjadi PR bagi seluruh penyelenggara pendidikan baik pendidikan formal maupun non formal, agar bijak dalam menempatkan segala sesuatunya termasuk dalam menggunakan seragam saat merayakan kelulusan. ***

Exit mobile version