JAKARTA – Industri ritel meminta pemerintah mengubah klasifikasi industri padat modal menjadi padat karya. Perubahan itu dinilai bisa menjadi relaksasi untuk memacu pertumbuhan industri. Perubahan tersebut juga bisa mendatangkan konsekuensi terkait penggajian.
Yakni, penggajian tidak mengikuti upah minimum sektoral provinsi (UMSP), melainkan upah minimum regional (UMR). DKI Jakarta lebih dulu mengeluarkan aturan perubahan klasifikasi usaha tersebut.
Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey menyatakan, ritel sudah memenuhi persyaratan sebagai industri padat karya. Alasannya, sebagian besar ritel modern telah mempekerjakan lebih dari 200 pegawai per toko. Sebaliknya, tempat karaoke, bioskop, kafe, dan restoran termasuk dalam kategori padat modal. Sebab, secara rata-rata, jumlah karyawannya kurang dari 200 orang.
’’Di supermarket dan hipermarket sehari dua sif. Supermarket mempekerjakan 300 orang tiap sif, bahkan hipermarket mencapai 400 orang per sif,’’ jelasnya.
Syarat lain, beban sumber daya manusia (SDM) mencapai 40 persen. Rata-rata beban SDM di ritel modern sudah melebihi 40 persen. Karena itu, ritel layak disebut padat karya. Kalau dikategorikan dalam padat karya, ritel dikenai upah berdasar UMR.
Selisihnya dengan UMSP sebesar 6–8 persen. Rumusan UMR adalah inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi. Penetapan UMSP melibatkan pemerintah, dewan pengupahan, dan pengusaha dengan memperhatikan kebutuhan hidup layak.
’’Selisih itu bisa dimaksimalkan peritel untuk mendorong penyerapan tenaga kerja dan mendukung rencana ekspansi,’’ kata Roy. (jpnn.com)