Oleh: Amir Machmud
Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah juga Ketua Bidang Pendidikan dan Pelatihan SMSI Pusat
JURNALISME Kenabian (Prophetic Journalism). Berlebihankah impian ini, ketika kegalauan tentang bias dalam praktik jurnalistik mengembang di era disrupsi, yang antara lain memunculkan fenonema kabar bohong (hoax) dan informasi palsu (fake news)?
Idealisme memang boleh menabrak realitas, karena hanya dari impianlah manusia akan merajut arah hidup, membangun cita-cita untuk meraih masa depan.
Di tengah arus kemarakan media sosial yang menggeser peran praksis media arus utama itulah, seorang tokoh media, Firdaus Zainuddin Dahlan digelisahkan oleh pikiran tentang upaya-upaya untuk kembali ke substansi jurnalisme, yakni menyampaikan kebenaran dan keadilan.
Tokoh pers Banten itu, sejak pertengahan dasawarsa 2000-an menggagas, lalu pada 2018, benar-benar mewujudkan gagasannya untuk mendirikan lembaga pendidikan jurnalistik yang menjadi antitesis fenomena kekinian.
“Sementara ini saya menamainya Journalist Boarding School atau JBS, tempat menempa para calon wartawan dan praktisi multimedia dengan tinggal di pondok pesantren yang berbasis tahfiz Alquran di berbagai level,” tutur Firdaus.
Berlokasi di Jalan Cikerai, Desa Kalitimbang, Kecamatan Cibeber, Kota Cilegon, Provinsi Banten, walaupun masih berupa bangunan gedung yang sekelilingnya masih digarap, “pesantren jurnalistik” itu berdiri megah.
Sebagai mantan Ketua PWI Banten, Firdaus juga mendedikasikan gedung tersebut sebagai Pusdiklat PWI Banten, dan pada 6-7 September lalu dijadikan tempat Uji Kompetensi Wartawan (UKW) untuk 27 wartawan dari kabupaten dan kota di provinsi Banten dan Jakarta.
“Saya akui, Pak Firdaus selalu punya ide kreatif untuk memberi warna dalam kehidupan dunia jurnalistik di Provinsi Banten. Kami kolega-koleganya tentu mendukung gagasan besar pengembangan Jurnalisme Kenabian ini,” tutur Moh Hofip, pengurus PWI Provinsi Banten yang di kalangan dunia radio lebih dikenal sebagai Iqbal.
Dua Program
Firdaus Zainuddin Dahlan, yang juga Ketua Bidang Organisasi PWI Pusat itu menjelaskan, JBS merupakan program berkelanjutan yang menyasar anak muda milenial dan kaum profesional untuk memiliki kemampuan jurnalistik, public relations, dan kehumasan.
JBS juga bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Provinsi Banten, dalam waktu dekat akan kerjasama dengan perguruan tinggi dan beberapa kementerian.
“Kami punya dua program. Pertama, Program Intensif, mukim dan tidak mukim yang bersifat reguler, dengan masa pendidikan dan pelatihan selama satu minggu, satu bulan, dan tiga bulan,” katanya.
Pada tahap pertama setelah pembukaan program, dibatasi 20 peserta. Mereka dibimbing oleh para profesional media, baik dalam pengenalan dan praktik-praktik berjurnalistik dan bermedia, maupun dalam eksplorasi etika profesi.
Kedua, Program Intersip, pendidikan selama setahun setara D1. Tiap peserta akan mendapat pembinaan dan pendidikan agam berupa tahfiz Alquran. “Ini menjadi standar nilai (way of life) yang harus dimiliki oleh setiap kader JBS.
Lalu Program Intensif Mukim, yakni peserta program satu tahun untuk alumni SMU, dan sarjana,” tutur Firdaus yang juga Sekjen Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Pusat itu.
Kurikulum JBS disusun dengan mengacu pada dasar-dasar penyampaian informasi (dakwah) yang berbasis sifat-sifat kenabian, yakni siddiq, amanah, tabligh, fathanah.
Dengan karakter ini, nilai-nilai pendidikan ditransformasikan untuk membentuk anak-anak muda berkemampuan jurnalistik dengan tetap memegang prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan sebagai way of life.
“Kita bermaksud melawan realitas kondisi sekarang ini, yakni penyampaian informasi dan menerima informasi yang berkecenderungan membelakangi nilai-nilai kebenaran,” jelas Firdaus.
Program lain yang disiapkan oleh JBS adalah wisata religi. Program ini diperuntukkan bagi seluruh lapisan masyarakat yang berniat menyegarkan visi kehidupan dan ingin kembali kepada ketenangan dan kedamaian spiritual.
JBS akan menyediakan tempat untuk berwisata religi dengan hunian tempat mukim yang setara hotel, tetapi tidak dengan kelengkapan fasilitas televisi. Peserta memang diajak melepaskan diri dari rutinitas kehidupan.
“Selain program-program keagamaan seperti shalat berjamaah dan berzikir, peserta kita ajak untuk menjalankan penyegaran aktivitas kemasyarakatan yang bersifat alternatif, seperti membuat batu bata, menyiangi tanaman, membuat tahu, dan sebagainya,” tuturnya.
Firdaus menambahkan, kurikulum JBS disusun antara lain dengan mengadopsi ide-ide yang diserap dari sejumlah koleganya yang berpengalaman berkiprah di dunia media.
Maka terasa spirit kebangsaan dalam menopang konsep Jurnalisme Kenabian yang mentransformasi penyerapan dan pengayaan nilai-nilai. Untuk mendedikasikan sumbangan pikiran kawan-kawannya, Firdaus mengabadikan nama mereka untuk menandai nama setiap ruang, kamar, dan sudut bangunan JBS.
“Setiap saat, secara teragenda kami akan mengundang kawan-kawan dan para stakeholder untuk mengevaluasi program, pelaksanaan, dan capaiannya. Ini penting untuk pengembangan ke depan impian ini,” ungkapnya.(***)