Oleh. Dr. Muhadam Labolo
(Pengurus Paguyuban Pamongpraja Indonesia)
Pasca-lahirnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri, Menpan RB dan Kepala Badan Kepegawaian Negara beberapa waktu lalu, tampaknya membawa kecemasan masif bagi seluruh jajaran ASN di Indonesia.
SKB itu dapat dianggap sebagai ancaman. Bukan saja bagi 2.357 PNS yang sedang menunggu penantian pemberhentian tidak dengan hormat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) di daerah. Demikian pula masa depan sekitar 4,37 juta ASN di seluruh Indonesia.
Bila kita asumsikan, bahwa setiap ASN yang bermasalah tersebut menanggung beban seorang istri dan seorang anak, maka SKB tersebut dapat mengancam kelangsungan nasib 7.071 orang, atau berpotensi mengancam nasib 13,11 juta ASN.
Belum lagi jumlah pegawai PPPK (honorer, red) yang jika diakumulasi dari daerah hingga pusat, jumlahnya bisa separuh dari total ASN.
Aparatur Sipil Negara sebagaimana dimaksud dalam UU No.5/2014 termasuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Apabila kategori pegawai negeri dimaksud juga meliputi aparat Polisi dan Tentara, itu jelas memprihatinkan. Secara politik dapat menghilangkan dukungan dan loyalitas birokrasi, terhadap pemerintah yang sedang berkuasa.
Dampak dari kecemasan itu kini merambah juga pada sebagian ASN, yang memegang posisi sebagai kuasa pengguna anggaran, hingga level terendah pejabat pembuat komitmen.
SKB tersebut juga menyapu semangat kerja PNS dalam mengelola teknis keuangan, apalagi sebagai bendahara.
Masalahnya, tata kelola sektor keuangan publik justru menjadi salah satu urat nadi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Tanpa aparatur yang cakap dalam pelayanan pemerintahan di pusat dan daerah diyakini akan menghadapi potensi masalah yang lebih besar.
Hal ini dapat melumpuhkan fungsi-fungsi pemerintahan (government malfunction). Malangnya, SKB tersebut bersifat retroaktif. Artinya, semua ASN yang telah menjalani hukuman minimal dua tahun kurungan dan membayar denda atas kerugian negara tetap dianggap pesakitan yang mesti diberhentikan dengan tidak hormat.
Termasuk mereka yang telah pensiun, berpotensi mengembalikan hak uang pensiun. Di sisi lain, tenggat waktu dan ancaman sanksi yang diberikan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) di daerah seakan menciptakan faith of conflict baru, antara Kepala Daerah dan ASN sebagai instrumen paling efektif dilingkungan birokrasi.
Sejumlah kepala daerah tentu saja berada di posisi dilematis, di satu sisi berusaha melindungi semaksimal mungkin masa depan aparatnya. Sementara, di sisi lain terancam sanksi bila sebelum akhir 2018 tak kunjung dilakukan eksekusi.
Mungkin SKB tersebut di area pusat pemerintahan tak begitu berpengaruh. Namun, di level pemerintah daerah jelas sangat menentukan masa depan ASN, yang semata-mata bersandar pada pekerjaan sebagai birokrat.
Pemberhentian ASN melalui SKB tersebut pada dasarnya bukanlah tanpa maksud dan tujuan tertentu. Pemerintah ingin menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa sebagai wujud dari spirit UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Selain itu bertujuan menjalankan amanah UU No.5/2014 tentang ASN, khususnya Pasal 87 ayat (4) huruf b tentang kejahatan jabatan.
Persoalannya, apakah yang dimaksud dengan kejahatan jabatan? Jabatan seperti apakah yang dimaksud?. Serta, siapa saja yang dapat dikategorikan sebagai pejabat?.
Sejauh pemahaman publik terhadap ketentuan hukum, selama ini kejahatan jabatan dalam prakteknya dapat beraneka ragam, termasuk menggunakan jabatan dan menghalang-halangi pelayanan masyarakat dengan menggunakan jabatan.
Apakah problem semacam ini mesti selalu berada di ranah pidana atau cukup menjadi masalah Ombudsman. Dalam ketentuan UU No.30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan menerangkan bahwa, tindakan yang diduga berkaitan dengan kesalahan, dalam bidang administrasi oleh seorang pejabat pemerintah, pertama-tama mesti diperiksa oleh Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP), sebelum kemudian di take-over oleh penegak hukum jika disimpulkan merugikan keuangan negara, sengaja memperkaya orang lain atau dirinya sendiri.
Lalu, dalam struktur kekuasaan itu ada posisi pejabat yang duduk dalam jabatan strategis, sisanya diposisikan sebagai bawahan.
Apakah keseluruhan jabatan tersebut dapat dikategorikan sebagai jabatan strategis dari puncak hingga level terendah? Ketidak-tegasan norma dalam mendefenisikan jabatan dan kejahatan jabatan itu sendiri, tentu saja berimplikasi bagi nasib setiap ASN yang memegang jabatan sekecil apapun.
Artinya, semua ASN itu pada dasarnya adalah pejabat, bukan kuli atau staf. Bagaimana pula dengan kejahatan
yang dilakukan oleh seorang penjabat, bukankah istilah pejabat dan penjabat memiliki pengertian yang berbeda?.
Bila tidak ada pembedaan yang jelas semacam itu, penting kiranya ASN mempersoalkan kembali makna kejahatan jabatan sebagai bagian dari perkara korupsi.
Hal ini penting. Sebab, secara langsung berhubungan dengan siapa saja yang akan menjabat. Dan karena itu pula disebut sebagai pejabat.
Jika hal ini masih bersifat sumir, sehingga menjadi tafsir sepihak pemerintah maka alangkah baiknya ASN melakukan uji materi baik di hulu maupun hilirnya.
Di hulu, penting bagi ASN untuk menguji keajegan UU No.5/2014 khususnya Pasal 87 ayat (4) huruf b terkait kejahatan jabatan di Mahkamah Konsitusi. Di hilir, ASN mesti menguji kelaikan SKB tiga mentri di Mahkamah Agung (MA) agar nasib 2.357 orang tersebut dapat segera diselamatkan sebelum Januari 2019.
Tanpa proses ini, ASN hanya akan menjadi bulan-bulanan dari produk sistem diskriminatif dibanding kelompok politisi yang terkesan selalu memperoleh previlage.
Sebagai perbandingan, putusan MA beberapa waktu lalu yang membatalkan PKPU No. 20 Tahun 2018 Pasal 7 poin 1 huruf h, secara tidak langsung, telah membolehkan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak atau korupsi ikut dalam pemilihan legislatif.
Beberapa waktu sebelumnya, MK juga pernah mengabulkan peluang politisi yang akan maju sebagai kandidat kepala daerah, untuk tidak perlu berhenti dari jabatannya, cukup cuti di luar tanggungan negara.
Hal ini kontras dengan nasib ASN yang “dipaksa” mundur saat ditetapkan sebagai calon kepala daerah. Lebih dari itu, bukan rahasia lagi jika ASN selalu menjadi target akhir tahun, guna meningkatkan kinerja institusi penegak hukum.
Isi penjara tampaknya menjadi ukuran kuantitatif atas keberhasilan penegakan hukum. Padahal, indikator keberhasilan penegakan hukum, justru terletak pada semakin rendahnya pelanggaran hukum itu sendiri.
Maknanya, isi buih idealnya semakin hari semakin kosong, karena sistem hukum secara umum bekerja melalui tindakan pencegahan, dibanding tindakan represif
(memenjarakan dan memberhentikan).
Akhirnya, keseluruhan pemandangan tersebut menunjukkan, betapa eksistensi ASN dalam konteks tertentu tak berada dalam posisi yang sama di mata hukum.
Ide persamaan hukum, sebagai upaya mewujudkan nilai keadilan tampaknya hanya berlaku bagi kelompok tertentu yang memiliki akses langsung dalam kompetisi kekuasaan. Selamat berjuang Korps Aparatur Sipil Negara.***