JAKARTA – Politikus PDI Perjuangan Juliari Peter Batubara menyatakan tidak heran jika disebut Badan Usaha Milik Negara atau BUMN menjadi ladang korupsi bagi para pejabatnya. Karena itu, dia merasa tidak heran jika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membongkar korupsi proyek pemesanan kapal perang oleh Filipina kepada Indonesia yang menjerat pejabat BUMN ini.
“Di banyak BUMN, sudah lama permainan itu terjadi, terutama dalam pengadaan, bukan hanya di PT PAL,” kata Juliari menjawab wartawan di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa(4/4/2017).
Juliari tidak memerinci lebih jauh seperti apa yang dimaksud dengan ladang korupsi bagi pejabat BUMN. Tetapi dia hanya menyebut indikasinya.
“Indikasinya apa? Sudah tidak rahasia lagi jika banyak BUMN kita yang merugi, tapi anehnya, direksi-direksinya bisa hidup bergelimang harta. Keluarga mereka bergaya hidup hedonis,” ujar Juliari yang akrab disapa Ari.
Ladang korupsi itu, Ari memang sudah rahasia umum, terlebih jika melihat pengelolaan managemen yang umumnya tidak transparan. Hal ini bertolak belakang dengan status BUMN adalah milik negara.
“Anehnya lagi, kalau kita pertanyakan dalam rapat-rapat di Komisi VI, seringkali penjelasannya muter-muter,” katanya seraya menambahkan, sudah pasti dalam rapat kerja dengan Meneg BUMN kasus korupsi di PT PAL akan dipertanyakan.
Karena itu, Juliari berpendapat rekrutmen direksi BUMN harus dibuat lebih transparan sebagai solusinya. Nama calon direksi yang akan dipilih supaya diumumkan di publik, siapa-siapa saja yang dicalonkan.
Kemudian diberikan waktu yang cukup kepada masyarakat untuk menilai rekam jejak atau track record mereka.
“Artinya, kalau tidak ada laporan yang “aneh-aneh” dari publik disertai bukti, berarti calon tersebut “lumayan” tidak bermasalah,” kata Juliari menyarankan.
Setidak-tidaknya tambah dia, ada terobosan yang dilakukan dengan pembenahan dari sisi rekrutmen calon direksi BUMN.
Wakil Bendahara DPP PDI Perjuangan ini juga menyarankan, setelah ada direksi yang baru, maka harus dibuat kontrak kinerja dengan pemerintah selama masa jabatannya.
“Nah, kalau tidak tercapai target, minimal 90 persen nya, maka direksi tersebut tidak perlu diperpanjang lagi atau tidak akan direkrut lagi untuk ke BUMN lainnya,”pungkasnya.
KPK telah menetapkan Dirut PT PAL Muhammad Firmansyah Arifin sebagi tersangka penerima suap terkait penjualan kapal ke Filipina setelah Kamis (30/3/2017) sore melakukan operasi tangkap tangan terhadap dua orang di Cawang, Jakarta Timur. Penyidik KPK mengamankan amplop berisi uang sekitar Rp 333 juta. Selain Firmansyah, KPK juga menetapkan dua pejabat PT PAL dan seorang pihak swastasebagai tersangka dan langsung ditahan.(jpnn.com)