Site icon Harian Kepri

Lanjutkan Perjuangan Kemerdekaan, Indonesia Butuh Lebih Banyak Pejuang Kolektif

Dr. Arie Wibowo Khurniawan, S.Si, M.Ak-f/istimewa-koleksi pribadi

Oleh:
Dr. Arie Wibowo Khurniawan, S.Si, M.Ak
Perencana Ahli Madya – Direktorat SMK- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Pemerhati School Governance, Pendidikan Kejuruan dan Pendidikan Vokasi

PERINGATAN hari lahir Indonesia, yang jatuh tanggal 17 Agustus pada setiap tahunnya, merupakan sebuah momentum untuk selalu mengingat kembali, tekad bangsa Indonesia sebagai keturunan bangsa pejuang.

Pada tahun 2021, Bangsa Indonesia telah bebas merdeka dari penjajahan fisik. Kondisi tersebut, tidak lepas dari hasil usaha perjuangan dari para pendahulu Bangsa ini.

Presiden RI Ke-3, Prof. BJ Habibie pernah berkata “Sesungguhnya bangsa Indonesia adalah turunan pejuang. Yang harus dimanfaatkan adalah wawasan cita-cita, bukan mimpi yang pas bangun gak ada apa-apa. Kita bangsa pejuang tidak kenal mimpi”.

Mengenang masa lalu, ketika perang dunia kedua meletus tahun 1942, Ir Soekarno pernah meramalkan, bahwa kawasan pasifik pasti akan menjadi medan tempur yang sengit.

Semua pihak pasti lelah. Belanda dan Jepang tidak akan mampu mengurus tanah jajahannya. Dan, inilah kesempatan emas untuk merdeka.

Tahun 1945, tanggal 17 agustus, pada pagi hari sekitar pukul 10.00 WIB, Ir Soekarno didampingi Moh Hatta, membacakan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Berita pun menyebar ke seluruh penjuru Nusantara.

Selain itu, proklamasi kemerdekaan juga disebar ke seluruh dunia. Dapat dibayangkan, bahwa ancaman kala itu siap datang menghampiri tanah air. Apalagi, tentara Jepang masih menguasai Indonesia.

Namun di saat bersamaan, perjuangan dan semangat kemerdekaan menggelora di seluruh tanah air. Segala perjuangan yang telah lama dilakukan, akhirnya berpuncak pada proklamasi 17 Agustus 1945.

Bangsa ini harus bersyukur atas peristiwa bersejarah ini. Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 bukanlah pemberian bangsa lain. Bukan juga hadiah dari sekutu atas kemenangan pada perang dunia II.

Bukan juga akibat perjuangan satu golongan atau satu kelompok. Tetapi, peristiwa 17 Agustus 1945 adalah murni hasil perjuangan bersama segala elemen bangsa Indonesia secara kolektif.

Itu sebabnya Bhinneka Tunggal Ika sudah final dan merdeka sudah harga mati. Namun di atas semua usaha dan perjuangan bangsa ini, kemerdekaan bangsa Indonesia adalah anugerah dan rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa.

Bangsa ini pun mempercayai sepenuhnya ini dan menjadi bangsa yang tidak sombong, tetapi bangga menjadi bangsa Indonesia.

Kini sudah 76 tahun, sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, Bangsa Indonesia masih harus terus berjuang.

Di sisi lain, Kita sebagai warga Bangsa Indonesia juga harus berjuang di jalur kehidupan sebagai manusia di dunia. Bahwa hidup di dunia ini juga dilahirkan di atas rel perjuangan: perjuangan untuk hidup.

Perjuangan untuk memenuhi hak-hak orang lain. Perjuangan untuk hidup di atas jalan yang lurus sesuai aturan agama dan negara. Perjuangan untuk melawan godaan hawa nafsu dan rayuan setan.

Perjuangan untuk mengejar kehendak dan cita-cita. Termasuk, perjuangan untuk menyambung hidup itu sendiri, dengan nafas-nafas dunia dan pengharapan kembali kepada hari akhirat.

Setiap kita sebagai warga negara Indonesia, punya cara sendiri untuk hidup. Itu tak soal. Di jalan-jalan raya yang keras. Di kantor-kantor megah yang sejuk, di kampus-kampus dan sekolah-sekolah yang gegap gempita, di tengah samudera yang bergelombang, di sawah-sawah dan ladang-ladang yang tenang.

Di rumah-rumah yang pengap maupun lapang, di balik deru mesin-mesin industri yang bising, di dalam lorong panjang pertambangan yang mencekam, setiap hari, setiap waktu, setiap orang menyambung nafas-nafas kehidupannya.

Ada berjuta cara untuk hidup. Tetapi, perjuangan hanya kosakata untuk cara hidup yang lurus. Perjuangan hanya bahasa untuk pengorbanan yang benar.

Maka, menyambung hidup dengan cara kotor, licik, dan kerdil, sama sekali bukan perjuangan. Sampai pun bila hidup secara kotor lebih melelahkan dan lebih memakan pengorbanan.

Oleh karenanya, jangan pernah berkhianat. Sekecil apapun. Pengkhianatan tak akan mengantarkan siapapun ke taman kebahagiaan.

Bisa jadi manis di awalnya, tetapi sejarah tak pernah tersipu-sipu oleh kemanisan itu. Karenanya, sepanjang sejarah, para pengkhianat tak lebih seonggok sampah di tengah sungai khianat yang mengalir ke muara kehinaan.

Perjuangan tidak mengenal batas. Apa saja yang kita berikan untuk kebaikan Bangsa Indonesia adalah berjuang. Perjuangan adalah nafas dan naluri kehidupan setiap hari Bangsa Indonesia.

Warga negara Indonesia memang harus berjuang karena di sanalah habitat kebangsaan kita. Karena di sanalah tempat kita menabung untuk dipanen oleh anak cucu generasi penerus Bangsa Indonesia, sebagai amal jariyah atau kita panen sendiri di akhirat kelak sebagai amal kebaikan.

Ruang lingkup perjuangan memang luas. Seluas warna-warni kehidupan ini. Namun, setidaknya, ada empat bentuk peran perjuangan yang bisa dipilih oleh setiap warga negara Indonesia, dalam melanjutkan perjuangan Kemerdekaan Indonesia, sesuai dengan kemampuan maksimal yang dapat ia usahakan.

Menjadi Pemeran Utama

Dalam peran perjuangan ini, seseorang memberi saham begitu banyak kepada berbagai investasi amal kebaikan. Kadang ia menjadi yang pertama, kadang ia menjadi yang utama.

Bahwa setiap zaman ada orang terbaiknya. Setiap ruang-ruang amal ada pemain utamanya. Dalam setiap pekerjaan ada orang nomor satunya.

Di setiap lingkaran dari seluruh wilayah perjuangan dan amal kebaikan, ada orang-orang yang layak dan bisa menjadi pemeran utama. Di rumah, di tempat bekerja, di masyarakat, di pusat pemerintahan, atau di mana saja, tempat amal itu berada.

Ruang-ruang itu bahkan begitu banyak. Sebanyak profesi-profesi halal yang ada di muka bumi Nusantara ini. Mungkin di antara kita seorang guru, petani, pedagang, karyawan, penuntut ilmu, politikus, pejabat, atau ibu rumah tangga, atau apa saja.

Dalam setiap ruang-ruang yang bisa kita jangkau itu, kita bisa menjadi pemeran utama dari seluruh proses perjuangan hidup ini.

Menjadi Pemain Kedua

Dalam peran perjuangan ini, seseorang diberi karunia oleh Tuhan Yang Maha Esa, untuk menjadi orang kedua. Pengertiannya, bahwa orang dengan tipe seperti ini hidup ditengah ruang beramal, dimana ada orang lain yang lebih baik dari dirinya.

Dalam setiap amal, selalu ada orang nomor dua. Terlepas apakah selisih jarak antara orang pertama dan kedua itu pendek atau panjang, dari segi kualitas, usia atau apa saja.

Dalam berbagai kepentingan adanya pemain kedua, justru sangat penting sebagai pendamping dari pemain pertama sekaligus untuk menjaga keseimbangan.

Dalam kehidupan kita sehari-hari, secara pola tidak akan jauh berbeda dengan itu. Karenanya, bila kita tidak bisa menjadi orang pertama, setidaknya kita bisa menjadi orang yang kedua.

Segala peran hidup dan perjuangan memerlukan orang-orang lapis kedua. Ini tidak saja demi kehidupan keseimbangan seperti disebut diatas, tapi lebih lanjut juga demi terjaganya keseimbangan kesinambungan regenerasi hidup memang harus berbagi peran.

Seperti sebuah biduk rumah tangga pengayuh pertamanya adalah suami, sedangkan pengayuh lapis keduanya adalah istri. Begitu seterusnya, pada seluruh bentuk-bentuk amal kebaikan yang kita geluti.

Menjadi Pemain Pendukung

Dalam peran perjuangan ini, pemain pendukung tidak kalah penting dari pemeran utama maupun kedua. Pada tipe ketiga ini, seseorang memberikan kontribusinya bagi berbagai macam amal kebaikan, tetapi ia bukan sebagai orang pertama orang kedua.

Atau bisa juga ia tidak berada pada level strategis ataupun punya otoritas. Tetapi timbangan amal di sisi Tuhan Yang Maha Esa tidak sedikit pun keliru. Bahwa, siapa yang menanam kebaikan pasti ia akan menuainya

Kita, hari ini memang tidak hidup di zaman sejarah proklamasi kemerdekaan. Tapi, setidaknya banyak kesempatan bagi kita untuk menjadi pemeran pendukung, dari sebuah proyek raksasa bernama gerakan perjuangan kebaikan. Apapun bentuknya, di manapun kita berada.

Menjadi “Penonton” Yang Aktif
Dalam peran perjuangan ini, pemain tipe ini tidak diistilahkan untuk orang-orang pemalas.

Apalagi yang ogah berbuat kebaikan. Tapi ini lebih merupakan tempat bagi orang-orang yang setelah dengan segala kesungguhannya berusaha, mereka tetap punya banyak keterbatasan.

Kadang seseorang memiliki begitu banyak kekurangan. Mungkin ia telah berusaha semaksimal mengeluarkan seluruh ikhtiarnya, tapi tetap saja ia tidak bisa berbuat banyak.

Setiap kita sebagai warga negara Indonesia, pada dasarnya punya kavling masing-masing untuk berjuang. Dengan tanpa meninggalkan ikhtiar, untuk terus maju dan menjadi lebih baik.

Atau dengan kata lain, dengan tidak lupa terus berusaha jadi penonton yang baik menjadi pendukung yang baik, begitu seterusnya.

Bisa jadi, ada orang yang di satu posisi amal kebaikan ia sebagai pemeran utama, di kali lain ia menjadi pemeran kedua. atau bahkan sebagai penonton.

Atau sebaliknya, ada juga orang yang di mana-mana selalu menjadi pemeran utama. Itu sangat mungkin dan tidak jadi soal. Tetapi yang lebih penting dari itu semua, bila semua pemahaman di atas, bahwa setiap kita warga negara Indonesia bisa berjuang terus, kita yakini, dan kita sebarluaskan, kita berharap, yang hidup di ruang-ruang hampa tanpa perjuangan yang benar, hanya Saudara kita yang belum mendapatkan hidayah dari Tuhan Yang Maha Esa.

Seorang bijak pernah berkata “Bermirip-miriplah engkau dengan orang besar, bila engkau tidak bisa seperti mereka”.

Ya, kita memang harus menapaki jalan para pejuang itu, meski medan juang kita berbeda. Setidaknya, kita harus berjiwa pejuang. Karena hidup, memang perjuangan. AWK1980. DIRGAHAYU INDONESIAKU KE-76, KITA TANGGUH, INDONESIA TUMBUH. ***

Exit mobile version