Site icon Harian Kepri

Media Sosial dan Jeratan Kasus

Kurnia Syaifullah

Oleh:
Kurnia Syaifullah
Mahasiswa Stikom Yogyakarta

TEKNOLOGI dan informasi berkembang pesat seiring dengan konsumsi peralatan komunikasi dan jaringan internet. Kondisi itu telah mengubah peradaban dunia.

Dari yang gagap teknologi hingga melek terhadap sistem digitalisasi, dan merambah kepada kebutuhan publik seperti sektor bisnis, pendidikan, kesehatan pelayanan publik, pemerintahan hingga sosial dan hiburan.

Salah seorang ahli, Lani Sidharta mendefinisikan, internet adalah suatu interkoneksi dari jaringan komputer yang dapat memberikan layanan informasi dengan sangat lengkap.

Lani juga menjelaskan, bahwa bentuk ini merupakan rekan virtual atau maya yang ampuh digunakan dalam hiburan, media bisnis hingga politik. Berbagai sektor kehidupan tercakup dalam rekanan via dunia maya ini.

Perkembangan teknologi internet diawali pada tahun 1969 oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat, kemudian merambah ke berbagai penjuru dunia termasuk Indonesia.

Mengutip dari berbagai sumber, internet masuk ke Indonesia antara tahun 1980-an. Namun pendapat itu masih dapat diperdebatkan.

Terlepas dari simpang-siur informasi itu, fakta menunjukkan pada tahun 1995 berdiri provider internet Indonesia pertama, bernama Indonet yang masih bersifat komersial.

Seiring pesatnya perkembangan internet saat ini, kemudian bermunculan berbagai platform media sosial yang menggunakan teknologi internet seperti Youtube, Facebook, Instagram, Twitter dalan lain sebagainya.

Pemanfaatan teknologi tersebut, khususnya di Indonesia, ternyata tidak dibarengi dengan regulasi dari pemerintah alias teknologi selalu meninggalkan jauh aturan atau regulasi.

Media cetak dengan dimensi mainstream, radio dan siaran televisi nasional maupun lokal saat ini pun, dituntut untuk melakukan konvergensi media.

Yaitu, penggabungan atau pengintegrasian media-media yang ada untuk digunakan dan diarahkan ke dalam satu titik tujuan, demi keberlangsungan bisnis media di era digital. Namun lagi-lagi regulasi yang mengatur konvergensi hingga kini juga belum ada.

Undang-undang penyiaran Nomor 32 tahun 2002, yang mengatur tentang penyiaran kini diangap sudah tidak relevan lagi ketika sistem penyiaran dialihkan ke sistem digital.

Upaya pemerintah untuk mengatur sistem penyiaran digital melalui Undang-undang “sapu jagat” Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja serta turunannya, juga tidak mengatur secara spesifik tentang penyiaran digital. Apalagi konvergensi media yang mencakup segala flatform media atau media baru.

Penggunaan media baru dari teknologi internet tersebut yang belum memiliki payung hukum, menyebabkan media sosial dimanfaatkan secara bebas, yang tidak jarang berdampak buruk bahkan hingga menjerat penggunanya dengan kasus hukum.

Pengguna media sosial secara legal atau berbadan hukum, kini harus mengikuti perkembangan teknologi, dengan menerapkan konvergensi media juga tidak luput dari jeratan kasus hukum ketika salah memanfaatkan media sosial, apalagi pengguna media sosial personal atau kelompok yang tidak berbadan hukum.

Secara aturan, ketika media mainstream melakukan kekeliruan dalam kerja jurnalistik yang dipublikasikan melalui situs web maupun media sosial, masih terlindungi dengan adanya Undang-Undang Pers Nomor 40 tahun 1999.

Pasal 5 ayat 2 yang berbunyi“ Pers wajib melayani hak jawab” berfungsi untuk mengkoreksi jika terjadi kesalahan dalam karya jurnalistik.

Namun di sejumlah kasus kesalahan produk jurnalistik tidak jarang yang harus berhadapan dengan hukum, ketika penegak hukum menggunakan pasal karet berupa Undang-undang no 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Teknologi Informasi (ITE) khususnya pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik, serta pasal 28 ayat 3 tentang ujaran kebencian.

Dari data Dittipidsiber (direktorat tindak pidana siber), selama kurun waktu 2017 -2020, laporan terkait UU ITE mencapai 15 ribu laporan, 5.064 terkait pencemaran nama baik. Sisanya, 1.169 terkait ujaran kebencian, dan 1.050 terkait penyebaran pornografi.

Sementara berdasarkan data Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), pada kurun waktu 2008 hingga Oktober 2020, laporan kasus pemidanaan terkait UU ITE mencapai 369 kasus.

Dari data kasus tersebut, yang menjadi terlapor hingga tersangka terdiri dari kalangan jurnalis, aktivis, akademisi, mahasiswa, pelajar hingga buruh. Sementara, pelapor kasus UU ITE didominasi oleh orang yang memiliki kekuasaan yang di antaranya adalah pejabat publik.

Sejumlah kasus hukum yang terjadi atas karya jurnalistik dengan penerapan pasal karet Undang-undang ITE di antaranya, M Reza Jurnalis media online realitas.com, yang dilaporkan Mukhlis Takabeya karena merasa terhina dan telah tercemarkan nama baiknya lewat berita di media online realitas.com pada 25 Agustus 2018.

Kemudian Gencar Djarot Jurnalis koranindigo.online, ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Parigi Moutong berdasarkan laporan mantan Direktur RSUD Anuntaloko Parigi, Nurlela Harate, karena tulisannya mengkritisi kebijakan RSUD terkait seorang pasien sakit dan akhirnya meninggal dunia pada Januari 2019.

Sementara kasus hukum akibat penerapan Undang-undang ITE akibat penggunaan media sosial diantaranya: Ervani Handayani warga Dusun Gedongan, Desa Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta yang harus harus berurusan dengan hukum akibat “curhat” di facebook soal mutasi kerja yang dialami oleh suaminya pada 30 Mei 2014. Ia membuat status Facebook yang dianggap mencemarkan nama baik bos suaminya.

Kasus terbaru di Kepulauan Riau terjadi pada Maret 2021, kasus berawal dari unggahan yang dianggap mencemarkan nama baik seorang politisi di Kabupaten Anambas, Kepri melalui akun Facebook milik Alin seorang ibu rumah tangga.

Kasus tersebut dilaporkan oleh sang politisi Anton Harseno ke polisi. Namun, dalam perjalanannya kasus tersebut dilakukan upaya damai oleh lembaga Kejaksaan dengan mengedepankan keadilan Restoratif Justice pada September 2021 lalu.

Maraknya kasus hukum yang menjerat jurnalis atas nama lembaga media yang memiliki legalitas maupun personal sebagai dampak dari pesatnya perkembangan teknologi internet dan media sosial di era digital, seharusnya menjadi perhatian para praktisi media, praktisi hukum maupun pemerintah, untuk segera menyiapkan regulasi baru, regulasi yang mampu memayungi secara hukum yang berkeadilan.

Hukum yang dianggap tidak adil dengan adanya pasal-pasal karet, yang masih condong berpihak kepada kepentingan penguasa dan pihak tertentu, jika tidak segera direvisi niscaya akan menjadi bom waktu.

Korban dari penerapan regulasi pasal karet seperti jurnalis bersama lembaga media maupun personal yang merupakan masyarakat umum, dikhawatirkan akan menciptakan iklim tidak baik dalam pengelolaan pemerintahan jika tidak segera direvisi.

Di sisi lain, pemerintah melalui lembaga-lembaga yang berkepentingan juga harus lebih gencar menyosialisasikan serta mengedukasi masyarakat, agar pesatnya perkembangan teknologi internet atau era digital saat ini bisa dimanfaatkan dengan baik.***

Exit mobile version