Oleh: Robby Patria
KOMPAS merilis hasil survei yang menarik untuk dicermati pada Maret 2020. Hasilnya 69,7 persen tidak setuju dengan adanya calon tunggal. Hanya 27,4 persen yang setuju dan 2,9 persen tidak tahu.
Kemudian warga mayoritas setuju dengan pendapat dalam survei tersebut ketika
ditanya calon tunggal tidak demokratis karena tidak ada persaingan. 69,5 persen setuju pernyataan itu.
Kemudian, calon tunggal membuktikan tidak adanya kaderisasi dalan partai. 61 persen setuju dan ketika pernyataan calon tunggal cara partai untuk menang dan masuk dalam lingkaran kekuasaan. 57,7 persen setuju. 37,9 tidak setuju dan 4,4 persen tidak tahu.
Menjadikan pilkada melawan kotak kosong atau calon tunggal merupakan ketakutan atas lawan. Strategi politik yang menghabiskan lawan sebelum bertanding. Tapi jangan senang dulu, karena kasus Pilkada Makassar 2018 menentukan menang kotak kosong karena rakyat muak dengan persengkongkolan partai politik sehingga tidak memberikan alternatif pilihan bagi masyarakat menentukan pilihan. Ujungnya suara rakyat memilih kotak kosong.
Kejadian di Pati, Provinsi Jawa Tengah kotak kosong hanya kalah tipis dari petahana. Pejabat sementara yang diutus pemerintah jika kotak kosong menang, tentu akan bisa menjalankan pemerintahan dengan baik karena sudah puluhan tahun bekerja sebagai ASN.
Jika kotak kosong menang itu juga kemenangan masyarakat. Catatan selama pilkada serentak yang membolehkan kotak kosong, hanya Makassar yang baru membuktikan tim kampanye kotak kosong berhasil meyakinkan pemilih. Karena yang menjadi kepala daerah adalah nantinya adalah ASN yang punya pengalaman di pemerintahan.
Jika parpol memborong partai berharap menang dengan mudah, maka rakyat yang punya kedaulatan suara, juga punya cara untuk untuk menggagalkan rencana itu dengan memenangkan kotak kosong karena pilihan yang diajukan tidak banyak mengubah wajah daerah.
Bahkan kental dengan membangun dinasti untuk periode berikutnya dengan kekuasaan dua keluarga. Sehingga mengabaikan prinsip demokrasi kesetaraan untuk menduduki jabatan politik tertentu. Bukan harus kalangan bangsawan seperti era kerajaan.
Di pilkada 2020, jumlah daerah yang melawan kotak kosong tercatat ada 28 daerah. Terjadi kenaikan dibandingkan pilkada 2018. Ada dugaan, kekuatan oligarki di parpol mulai dari daerah hingga pusat menyebabkan kemandegkan kaderisasi pengurus. Sehingga tak ada partai yang memiliki kader terbaik untuk dicalonkan di setiap kontestasi pilkada. Partai gagal melakukan kaderisasi untuk calon pemimpin daerah.
Partai politik lebih suka bermain aman mendukung calon yang berpotensi menang daripada berjuang untuk mengikuti kontestasi pilkada yang sudah disiapkan negara setiap lima tahun sekali.
Jadi kalaupun nanti di masa perpanjangan masa pendaftaran tak ada partai yang membuat koalisi baru, maka kotak kosong bisa menjadi simbol perlawanan dari pragmatisme politik. Ya, aneh saja, ketika partai diberikan ruang untuk berkompetisi merebut kekuasaan lima tahun sekali, malah tidak mau merebut kekuasaan itu. Mereka memilih jalan aman mendukung calon yang dianggap menang. Padahal yang didukung tak juga sukses mengubah daerahnya jauh lebih maju ketika pernah diberikan amanah memimpin.
Permainan belum berakhir saat pilkada satu daerah hanya satu calon. KPU akan terus melakukan proses tahapan hingga pencoblosan. Kotak kosong pun akan muncul relawan relawan yang berkampanye melalui media sosial mengapa harus memilih kotak kosong ketika ada pihak yang tak puas dengan kepemimpinan saat ini.
Lain halnya jika publik puas, maka kotak kosong pun akan menjadi pepesan kosong. Terkubur dengan sendirinya bersama dengan semangat semangat perlawanan. Kita lihat nanti apakah 28 daerah kotak kosong akan memberikan perlawanan atau dia hanya selembar kertas melawan calon yang diusung elit?