Konsep Food Estate
Pembangunan pangan yang melibatkan lahan dalam skala luas yang sama dengan food estate tidak hanya di Indonesia. Namun juga berkembang secara global pasca krisis pangan pada tahun 2008.
Pembangunan ini terjadi khususnya di negara-negara berkembang yang memiliki potensi lahan agrikultur begitu besar.
Uniknya juga adalah pelaku atau pemain yang ada di dalamnya didominasi oleh investor dari negara-negara yang minim sumber daya agrikultur, maupun korporasi nasional yang bertujuan untuk mengamankan cadangan pangan.
Sementara itu, program penyediaan pangan skala luas yang muncul pada pemerintah saat ini antara lain peningkatan produksi, ketahanan pangan, dan pertumbuhan sektor pertanian.
Konsep Food Estate mengintegrasikan pertanian, perkebunan, peternakan dalam skala luas agar lebih efisien. Ini sesuai tuntutan persaingan di pasar internasional. Diharapkan investor mendapat kesempatan berinvestasi di bidang pangan skala luas.
Konsep dasar food estate juga diletakan atas dasar keterpaduan sektor dan subsektor dalam suatu sistem agribisnis.
Memanfaatkan sumberdaya secara optimal dan lestari dikelola secara prosedural, didukung SDM berkualitas, menggunakan teknologi tepat guna, berwawasan lingkungan, dan kelembagaan yang kokoh.
Food estate diarahkan pada sistem agribisnis yang berakar kuat di pedesaan, dan berbasis pemberdayaan masyarakat adat atau penduduk lokal yang merupakan landasan dalam pengembangan wilayah.
Hasil dari pengembangan food estate bisa menjadi pasokan ketahanan pangan nasional dan jika berlebih bisa dilakukan ekspor.
Desain pengembangan kawasan pangan skala luas (food estate) dirancang berdasarkan empat pendekatan, yaitu (1) Pendekatan pengembangan wilayah (cluster), (2) Pendekatan integrasi sektor dan subsektor, (3) Pendekatan lingkungan berkelanjutan dan, (4) Pendekatan pemberdayaan masyarakat lokal (local community development).
Apa yang dilakukan Pemerintah Republik Indonesia di wilayah Nusa Tenggara Timur dalam rangka memenuhi ketersediaan pangan melalui program food estate, tidak terlepas dari berbagai pendekatan yang telah disebutkan di atas.
Pendekatan program pembangunan wilayah dilakukan secara terpadu antar multi sektor terkait yang dikelola dengan satu sistem manajemen terpadu, dengan pengembangan Klaster Sentra Produksi Pertanian (KSPP), serta penetapan komoditas unggulan berdasarkan potensi dan kesesuaian lahan.
Pendekatan Integrasi Sektor dan Sub Sektor (dalam rangka mendorong program diversifikasi pangan dan bidang usaha), dilakukan untuk mengatasi kendala keterbatasan infrastruktur publik dan wilayah komoditi pangan didasarkan kepada kajian dan pemetaan Agro Ecological Zone (AEZ).
Pendekatan lingkungan berkelanjutan, dilakukan melalui penataan alokasi pemanfaatan ruang yang seimbang antara kepentingan konservasi lingkungan dengan kepentingan usaha budidaya tanaman pangan, dengan memberikan arahan bagi pengembangan kawasan agar memperhatikan prinsi-prinsip dan kaidah konservasi seperti: tidak berada pada kawasan hutan konservasi atau lindung serta hutan produksi bervegetasi baik tidak berada pada areal penting bagi lingkungan, seperti High Conservation Value Forest dan kawasan gambut.
Pendekatan lingkungan juga memberi arahan agar lokasi pengembangan diprioritaskan kepada kawasan dengan status Alokasi Penggunaan Lainnya (APL) dan Hutan Produksi yang dapat dikonservasi (HPK).
Selain itu, untuk mengurangi lepasnya CO2 ke udara yang dapat berkontribusi pada pemanasan global akibat pembukaan lahan pada kawasan food estate, maka dilakukan mitigasi emisi Carbon dengan penerapan prinsip zero burning (pembukaan lahan tanpa bakar).
Pendekatan pemberdayaan masyarakat lokal dan pengembangan perekonomian local (Local Community and Economic Development) dilakukan dengan keterlibatan masyarakat lokal dalam pengembangan pangan skala luas (Food Estate), melalui kemitraan antara masyarakat lokal dengan investor, yang mengedepankan prinsip berkembang bersama sebagai kesatuan mitra pembangunan dan mitra usaha, dengan tetap memperhatikan kearifan lokal (Local Wisdom).