Site icon Harian Kepri

Menuju Pilkada 2024, Calon Pasang Muka, Pengusaha Pasang Kaki, ASN Pasang Badan

Buana Februari

Oleh:
Buana F Februari
Civil Society Tanjungpinang

HABIS gelap terbitlah terang, karya R. A. Kartini seperti menjadi bagian perjalanan hidupku. Ya aku memang patut bersyukur kehadirat Allah SWT atas hidup kedua yang ku nikmati saat ini.

Aku mengalami gangguan penglihatan, akibat pola hidup yang salah sehingga kandungan gula menguasai saluran pembuluh darah ke mata.

Dampaknya, pandangan mulai buram berlanjut ke temaram dan akhirnya suram. Sakit ini tak hanya merusak mata penglihatan tapi juga melantak mata pencaharian.

Lama tak menulis membuat timbunan pemikiran dan akumulasi keresahan atas pawai peristiwa yang terjadi kala aku tak dapat melihatnya dengan mata kepala sendiri.

Dalam tulisan kali ini aku yang jebolan Sekolah Demokrasi besutan LP3ES, bersama Universitas Diponegoro (Undip), mencoba mengurai motif pembunuhan berencana, lah sudah jadi latah terbawa suasana syndrome sambo.

Ternyata, meskipun pagelaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak baru akan dilaksanakan pada 27 November 2024. Namun hawa panasnya sudah sangat terasa.

Melalui gelaran pilkada, akan dipilih gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota di seluruh Indonesia tak terkecuali di Tanjungpinang, kota tempat aku bermukim dan berkiprah.

Pemilu Serentak 2024 nanti masih menggunakan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan juga UU No. 10 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

Jadi walau masih 2 tahun lagi Pilkada, dari sekarang para pihak yang berkepentingan sudah bergerak membangun pondasi, menyusun pola serangan dan manuver aksi untuk memenangkan kontestasi tersebut.

Dari pantauan di lapangan, serangkaian upaya pasang muka dilakukan oleh orang-orang yang merasa yakin berpeluang untuk maju mencalonkan diri.

Pelbagai jenis media mereka gunakan, ada media cetak, elektronik, daring dan luring, media cetak memang sempat menjadi primadona pilihan para calon untuk mempromosikan diri.

Pada dekade terakhir ini, media yang bersifat barang cetakan mulai ditinggalkan, begitu juga dengan media elektronik TV dan radio. Selain karena alasan mahal, juga dirasa sudah kurang efektif dalam mem-branding atau mem-framing para calon.

Lalu pilihan jatuh pada pemanfaatan media dalam jaringan (daring), atau yang lebih dikenal dengan sebutan media sosial, penggunaan media sosial dianggap lebih dapat diandalkan dalam merintis popularitas.

Khususnya bagi mereka yang mendadak ingin merasakan kursi kekuasaan. Kalau bagi para petahana media sosial, digunakan untuk mengukur tingkat kepuasan pemilih atas kinerja mereka.

Jadi, kalau mau lihat jeritan hati rakyat scroll saja laman facebook, instagram atau tik-tok, akan terhampar dengan jelas apa janji penguasa yang belum terwujud.

Buat kita pengguna media sosial juga jangan bosan bila setiap klik kita dijejali muka dan janji para petahana maupun yang baru mau menjadi bakal calon.

Kebalikan dari daring ada media luar jaringan (luring), atau kita menyebutnya tatap muka. Media yang satu ini ampuh digunakan dalam menjalin chemistry antara pemilih dan yang bakal dipilih, ada suatu ungkapan di kalangan pemilih “datang mau janji” masih lebih baik dari “janji mau datang”.

Sudah jadi rahasia umum, gak ada pesta yang gak pakai biaya. Begitu juga pesta demokrasi. Sebagai ajang rakyat memilih pemimpinnya pelaksanaan pemilu, pilpres maupun pilkada membutuhkan anggaran yang tidak sedikit.

Itu baru sekadar dari sisi pelaksanaannya. Kalau kita bahas lebih dalam, maka biaya yang lebih besar justru dibutuhkan oleh para kandidat untuk dapat ikut berkontestasi di ajang pemilihan.

Dalam tulisan ini kita bahas, soal peran pengusaha yang selalu pasang kaki di setiap momen pilkada. Keberadaan pengusaha di lingkaran Pilkada sering diartikan sebagai bentuk partisipasi yang kerennya disebut sponsor.

Pertanyaan yang timbul adalah, sebesar apa keuntungan buat mereka jika yang disponsori terpilih dan kerugian apa yang diderita bila calonnya kalah.

Untuk menjawab pertanyaan ini dengan pendekatan teori politik. Teori politik adalah bahasan dan renungan atas tujuan dari kegiatan politik, cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut.

Kemungkinan-kemungkinan dan kebutuhan-kebutuhan yang ditimbulkan oleh situasi politik tertentu, dan kewajiban-kewajiban (obligations) yang diakibatkan oleh tujuan politik itu.

Konsep ini sudah berlaku ratusan tahun dan pada prakteknya pengusaha pasang kaki bisa lebih dari satu bahkan mungkin ke semua calon.

Komponen lain yang tak kalah viral, yang ikut terlibat secara aktif pada suksesi Pilkada adalah Aparatur Sipil Negara (ASN). ASN yang di dalamnya sudah termasuk unsur PNS dan PPPK, banyak kita lihat berani pasang badan untuk mendukung dan memenangkan calon pilihannya.

Keberanian tersebut tak lepas dari kedudukan Kepala Daerah selaku Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK). PPK adalah pejabat yang mempunyai kewenangan mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan Pegawai Negeri Sipil.

Hal ini sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Jangan kaget bila ada AS, yang pascapilkada karirnya langsung meroket atau berada di tempat basah dan sebaliknya ada yang langsung nunjam.

Semua tergantung hasil pilkada. Hampir menang atau hampir kalah. Dengan keadaan yang demikian sulit bagi masyarakat untuk percaya bahwa posisi ASN di pelaksanaan pilkada bisa netral dan tidak memihak, sesuai kepanjangan lainnya Agak Susah Netral. ***

Exit mobile version