BINTAN (HAKA) – Menjelang pelaksanaan Idul Adha, tim kesehatan hewan Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Bintan, terus meningkatkan upaya pengawasan kesehatan hewan kurban di seluruh wilayah Kabupaten Bintan.
Namun, mengingat keterbatasan petugas, upaya pengawasan diintensifkan terutama di 8 Kecamatan, yakni Kecamatan Bintan pesisir, Kecamatan Bintan Timur, Kecamatan Bintan Utara, Kecamatan Toapaya, Kecamatan Gunung Kijang, Kecamatan Seri Kuala Lobam, Kecamatan Teluk Bintan dan Kecamatan Teluk Sebong.
Kepala seksi kesehatan hewan DKPP Kabupaten Bintan, drh Iwan Berri Prima mengatakan, pengawasan kesehatan hewan kurban dilakukan dengan cara, melakukan pemeriksaan gejala klinis setiap individu hewan sebagai stok hewan kurban.
“Jika ditemukan kasus sakit, diobati dan jika prognosanya fausta seperti kasus kecacingan yang tidak parah, hewan kurban masih bisa sembuh dan bisa dijadikan stok hewan kurban. Akan tetapi jika prognosanya dibius hingga infausta, harus dilakukan pengobatan menggunakan obat antibiotik, maka hewan ini tidak disarankan untuk dijadikan sebagai hewan kurban,” paparnya.
Terlebih lagi, menurutnya, hewan yang sedang diobati dengan antibiotik, tidak diperbolehkan dikonsumsi masyarakat.
“Efeknya cukup berbahaya bagi kesehatan manusia. Seperti kejadian resisten antibiotik. Oleh sebab itu, pilihlah hewan kurban yg telah diperiksa oleh dokter hewan,” tegasnya
Berri pun menjelaskan, ciri-ciri hewan kurban yang sehat dan layak untuk dijadikan hewan kurban.
“Yakni mata cerah dan tidak belekan, bulu bersih tidak kusam,
cermin hidung basah dan bersih, tidak kurus, kotoran normal dan tidak diare, nafsu makan baik dan gerakan lincah,” jelasnya
Sedangkan kriteria hewan kurban dikatakan tidak cacat, menurutnya adalah testis utuh dan ada sepasang, daun telinga utuh, tanduk tidak patah, tidak buta dan kaki tidak pincang. Kemudian hewan kurban tersebut harus juga cukup umur yakni untuk sapi dan kerbau minimal 2 tahun, sedangkan domba atau kambing minimal 1 tahun.
Selain melakukan upaya pengawasan, DKKP juga melakukan sosialisasi UU No.18 tahun 2009 sebagaimana diubah menjadi UU No 41 th 2014 tentang peternakan dan kesehatan hewan dan permentan nomor 14 tahun 2014 bahwa hewan betina produktif sebaiknya tidak boleh dijadikan sebagai hewan kurban.
Iwan Berri yang juga menjabat Sekretaris Umum Perhimpunan Dokter hewan Indonesia Cabang Kepri menghimbau agar pedagang hewan kurban senantiasa menjaga kesehatan lingkungan.
“Jangan hanya gara-gara jualan hewan kurban, justru menimbulkan masalah bagi kesehatan masyarakat. Juga sebaiknya pedagang hewan kurban menyediakan kandang permanen untuk hewannya. Hal ini terkait dengan kesejahteraan hewan yang diatur dalam undang undang, terlebih untuk hewan kurban,” pungkasnya. (arp)