TANJUNGPINANG (HAKA) – Hendie Devitra selaku Kuasa Hukum Tersangka Hasan, menduga, ada oknum pegawai Badan Pertanahan Nasional (BPN) Bintan, terlibat dengan PT Bintan Properti Indo (BPI) untuk menerbitkan 4 sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) pada Desember 2019, di atas lahan orang lain.
Menurut Hendie, oknum Kantor BPN Bintan berinisial S itu, diduga ikut menerbitkan sertifikat-sertifikat HGB untuk PT BPI itu, di atas tanah masyarakat yang tidak dibebaskan, dan juga tumpang tindih dengan sertifikat HBG milik PT Tenaga Listrik Bintan (TLB).
“Bidang-bidang lahan HGB itu, terletak di Jalan Nusantara, dan Jalan Lintas Timur, Kilometer 23, Kelurahan Sei Lekop, Kecamatan Bintan Timur (Bintim),” terang Hendie.
Penerbitan sertifikat itu, sambung Hendie, atas pengukuran ulang yang dilakukan oleh Direktur PT BPI, Constantyn Barail bersama pihak BPN Bintan. Lalu, peta hasil pengukuran itu dibuat oleh si oknum S.
Selanjutnya, pihak PT BPI dan BPN Bintan meminta tersangka Muhammad Riduan selaku mantan Lurah Sei Lekop saat itu, untuk tandatangani risalah dan peta hasil pengukuran ulang itu, namun yang bersangkutan menolak, lalu sebagian diteken oleh pengganti lurah lainnya.
“Alasan lurah itu tak mau, karena proses ukur ulang yang dilakukan Constantyn bersama BPN Bintan itu tidak melibatkan pemerintah kecamatan, kelurahan serta RT dan RW, termasuk sempadan dengan lahan yang sengketa itu,” tegasnya.
Hendie menjelaskan, tersangka M Riduan saat itu telah menerangkan kepada PT BPI, bahwa lahan itu telah dilakukan pengukuran oleh mantan Camat Bintan Timur (Bintim) Hasan dengan membentuk tim yang melibatkan seluruh perangkat terkait.
“Mulai dari pihak Kecamatan, Kelurahan Sei Lekop, perangkat RT dan RW, serta pemilik tanah yang sempadan pada September 2014,” kata Hendie.
Pengukuran yang dilakukan oleh tim tersangka Hasan saat itu, atas permintaan dari Dody Sudarsono selaku kuasa PT Expasindo Raya, sebelum dilakukan pengoperan lahan kepada PT BPI pada tahun 2019.
“Hasil pengukuran itu tertuang dalam berita acara pemeriksaan dan pengukuran ulang lokasi PT Expasindo Raya tertanggal 14 September 2014,” tegasnya.
Adapun isi atau berita acara itu, bahwa pihak eks perusahaan itu mengakui dan menyadari, bahwa lahan yang dibebaskan sejak tahun 1990 hingga tahun 1991 itu, ada beberapa yang belum diganti rugi.
“Yang belum ganti rugi, masih tertera di peta global yang dimiliki oleh PT Expasindo Raya saat itu,” ucapnya.
Selain itu, PT Expasindo Raya bersedia menerima dan tidak menuntut terhadap lahan yang telah dimiliki masyarakat dari peta global sesuai berita acara itu.
Kemudian, apabila terdapat garapan masyarakat yang belum memiliki surat, maka dilakukan mediasi sebagaimana mestinya.
Uraian itu juga, kata Hendie, telah dimuat dalam perjanjian akta pelepasan hak atas tanah dari PT Expasindo Raya kepada PT BPI, yang dibuat pada Maret 2019.
Yakni, pihak BPI selaku pihak kedua mengetahui keadaan tanah itu, dan melepaskan segala tuntutan apapun baik mengenai luas lahan, letak, batas-batas maupun terkait keadaan objek tanah itu.
“Direktur BPI, Constantyn malah tidak mengakui hasil berita acara atas permintaan PT Expasindo Raya itu. Dia melakukan pengukuran ulang dengan BPN Bintan,” tutupnya. (rul)