Site icon Harian Kepri

Penguatan DPD Menuju Parlemen Modern

Irwansyah

Oleh:
Irwansyah
Mahasiswa Hukum Islam UIN Sejh M. Djamil Djambek Bukittinggi

SECARA kelembagaan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sama-sama disebut sebagai lembaga legislatif. Namun labelisasi, fungsi serta kewenangan di antara keduanya memiliki perbedaan bagaikan bumi dan langit.

DPR dilabeli dengan julukan wakil rakyat, sementara DPD, hanya disebut sebagai wakil daerah. Lebih lanjut, di dalam konstitusi disebutkan bawa DPR punya otoritas menyusun dan membahas RUU, sedangkan DPD hanya punya hak untuk mengajukan usulan RUU.

Di dalam UU No. 27 tahun 2009 tentang tugas, fungsi, dan wewenang DPD lebih jelas terlihat bagaimana pengkerdilan yang dilakukan kepada DPD itu semakin nyata. Bahwa tugas dan fungsi yang diberikan kepada DPD semuanya serba tanggung dan setengah hati.

Misalnya fungsi DPD di bidang “legislasi”, DPD hanya dapat mengajukan RUU yang memiliki hubungan dengan otonomi daerah. Setelah RUU nya selesai, DPD menyerahkan kepada DPR. Setelah itu tergantung dengan kemurahan hati para DPR. Jika mereka sedang bermurah hati, RUU tersebut bisa ditindak lanjuti.

Tapi jika tidak, mungkin akan didiamkan sampai hari kiamat. Demikian pula dengan fungsi DPD di bidang pengawasan dan pertimbangan. Kewenangannya hanya sebatas melakukan pengawasan dan pertimbangan.

Misalnya DPD memberikan pertimbangan kepada DPR mengenai sebuah RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah atau sekelumit permasalahan di daerah. Maka tugas DPD hanya sampai disitu, selanjutnya itu menjadi otoritas DPR.

Dari sini dapat dilihat dengan sangat jelas, bahwa terjadi pengkerdilan terhadap DPD. Bahkan mendekati usianya yang ke 18 tahun, pengkerdilan terhadap DPD itu masih berlanjut. Jika DPR dan DPD dianalogikan, sebagai dua bersaudara di dalam sebuah keluarga.

Maka DPR itu merupakan anak kandung, sementara DPD adalah anak tiri. Memang pahit, tetapi itu lah kenyataan yang harus diterima oleh lembaga yang baru ditetaskan ba’da reformasi itu.
Belum puas dengan pengkerdilan yang diberikan kepada DPD.

Pakpahan (2015: 211) di dalam artikelnya yang berjudul Penguatan Kewenangan DPD RI dalam Bidang Fungsi Pengawasan menyebutkan, bahwa DPD menghadapi pandangan skeptic dari para politisi dengan menganggap bahwa DPD bukan bagian dari parlemen.

Melepaskan DPD dari Sandraan Konstitusi
Sulit bagi siapa pun untuk membantah kalau DPD sedang “disandra” dan dilemahkan oleh konstitusi. Makanya isu penguatan DPD cukup sering menjadi perbincangan hangat di ruang publik dan ruang akademisi.

Namun setiap isu yang bermerek DPD masih terjadi pasang surut. Hal itu terjadi lantaran posisi DPD masih sangat dilematis. Umpama seorang anak, dilahirkan tapi tak diharapkan.

Fisiknya sudah jelas-jelas ada, tapi tak dianggap ada. Ada dan tidaknya atau hadir dan tidak hadirnya DPD di bawah rumah beratap legislatif itu sama sekali tak dianggap.

Itu pula lah yang menjadi alasan utama kenapa kontribusi yang dihasilkan oleh DPD kepada masyarakat di daerah belum begitu terasa maksimal. Di media pun pemberitaan DPD masih tertinggal jauh dengan pemberitaan kakak tertuanya, yakni DPR.

Nahasnya, sampai saat ini DPR masih mengunci hati untuk membantu DPD, agar memperoleh kewenangan prima seperti kewenangan yang dimilikinya.

Sikap DPR yang pura-pura tak tahu dengan dilema yang dihadapi oleh DPD sebenarnya sudah dari dahulu bisa terbaca.

Secara politis, sulit bagi DPR untuk menguatkan peran DPD sebagai lembaga legislatif yang utuh. Alasannya adalah, kalau saja DPD mendapatkan mandat dan kewenangan yang sama dengan DPR. Maka DPR akan tersaingi, baik dalam eksistensi, popularitas maupun politis.

Ini lah alasan dibalik penyandraan kepada DPD. Makanya sejak menjelang kelahirannya, kewenangan DPD sudah didesain sedemikian rupa, agar tidak menjadi krikil bagi lembaga legislatif lainnya.

Padahal sebagai lembaga legislatif, kehadiran DPD itu mempunyai kontribusi yang positif bagi DPR. Hanya saja, sejauh ini DPR masih merasa jumawa, dan belum berbesar hati untuk menjadikan DPD sebagai lembaga profesional. Secara etika politik, itu sangat salah.

Untuk itu, DPD harus mencari alternatif lain untuk melepaskan dirinya dari penyandraan konstitusi. Menguatkan wewenang dan Eksistensi DPD. Bagi pejuang tidak pernah mengenal adanya jalan buntu.

Prinsip yang dipakai oleh pejuang itu adalah melangkah selangkah jauh lebih baik dari pada tidak melangkah sama sekali. Narasi itu penting ditandai sebagai sebuah narasi perjuangan bagi setiap orang, organisasi dan lembaga yang hendak memperjuangkan cita-citanya.

Karena keberhasilan itu hanya bisa digapai dengan kegigihan dan kerja keras.
Meskipun kewenangan yang dikantongi oleh DPD masih jauh dari kata ideal. Eksistensinya juga masih tertinggal jauh dari eksistensi DPR.

Namun peluang untuk menyamai kewenangan dan eksistensi yang sama dengan DPR masih terbuka dengan seluas-luasnya. Jika jalan pertama yang ditapaki oleh DPD buntu, maka perlu mencari jalan lain, dan jalan itu pasti ada.

Sejak dari tahun 2009 yang diketui oleh Irman Gusman, DPD sangat fokus dan kontinu menyuarakan perubahan amandemen UUD 195, sampai dengan ketua DPD yang yang sekarang AA Lanyalla Mahmud Mattalitti masih terus berjuang keras untuk memperjuangkan amandemen UUD 1945 tersebut, namun belum juga berhasil.

Apa yang dilakukan oleh ketua DPD itu merupakan langkah tepat secara konstitusional. Tapi secara politis, perjuangan amandemen UUD 1945 itu terlalu cepat. Dikatakan demikian, karena untuk melakukan amandemen UUD 1945 itu bukan perkara sepele.

Jika DPD secara sepihak yang menyuarakan amandemen, percayalah DPR dan MPR akan menutup telinga dan matanya. Mereka akan berpura-pura tidak melihat dan tidak mendengar apa yang sedang diperjuangkan oleh DPD.

Agar DPR dan MPR mau membuka mata dan telinganya untuk melihat dan mendengarkan apa yang disuarakan oleh DPD. Maka ada tiga strategi yang bisa dilakukan oleh DPD, yakni kepercayaan masyarakat, public relation, momentum.

Pertama kepercayaan masyarakat, ini adalah kunci utama yang harus disiapkan. Selama ini DPD sudah cukup lama memperjuangkan amandemen UUD 1945, namun selalu gagal, hal itu terjadi karena DPD belum mampu menggelang dukungan dari masyarakat.

Untuk itu, DPD perlu hadir di tengah-tengah masyarakat agar masyarakat percaya, bahwa apa yang diperjuangkan oleh DPD adalah untuk kepentingan di daerah.

Kedua public relation atau pemasaran politik, relevan atau tidaknya sebuah isu sangat erat kaitannya dengan antusias publik. Kalau kemasan isu yang dimainkan oleh DPD selaras dengan sikologi publik yang saat ini kecewa terhadap berbagai macam kebijakan pemerintah, tak menutupi kemungkinan, kalau gerakan perjuangan amandemen UUD 1945 mendapat dukungan penuh dari publik.

Ketiga momentum, kalau keda strategi di atas sudah berhasil dilakukan oleh DPD, maka perjuangan amandmen UUD 1945 sudah mendekati babak akhir. Dan amandemen itu akan segera bisa terlaksana.

Karena pada idealnya, masyarakat di daerah seharusnya memberikan dukungan penuh terhadap gerakan DPD tersebut. Agar DPD yang hari ini bisa menjadi parlemen yang lebih modern. Sebab, sebagai lembaga perwakilan daerah, tentunya orientasi DPD tidak jauh dari orientasi pembangunan di daerah. Karena semakin kuat fungsi DPD, maka semakin besar peluang daerah untuk maju dan berkembang.***

Exit mobile version