Site icon Harian Kepri

Prihatin dengan Belajar Tatap Muka di Kepri, 8 Pemateri Lintas Profesi Gelar Diskusi

8 pemateri diskusi The Renyeh melakukan diskusi online-f/istimewa

TANJUNGPINANG (HAKA) – Salah satu kelompok diskusi yang bernama The Renyeh menggelar diskusi online melalui aplikasi zoom, Minggu (22/8/202).

Diskusi online yang diikuti oleh 8 orang pemateri lintas profesi tersebut, membahas tentang Pemprov Kepri yang masih maju mundur, soal kebijakan sekolah tatap muka.

Sementara, daerah Kota Tanjungpinang, misalnya sempat melakukan tatap muka selama beberapa hari. Dan pada Senin (23/8/2021), Wali Kota Tanjungpinang Rahma menunda kembali sekolah tatap muka diganti sekolah daring.

Delapan pemateri yang mengikuti diskusi tersebut, di antaranya dua orang mahasiswa S3 yang juga dosen di UMRAH, yakni Alfiandri dan Robby Patria.

Selain itu ada mantan Ketua Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Kepri M Faizal, mantan anggota DPRD Tanjunginang Maskur Tilawahyu, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Kepri Hengky Mohari, Bendahara DPD Hanura Kepri Rona Andaka, penyiar RRI Jakarta Agus Santika, dan moderator Ketua Gerak API Tanjungpinang Wiliam Hendri.

Selama diskusi yang berlangsung hampir 3 jam itu, sebagian besar narasumber merasa prihatin, dengan kondisi pembelajaran daring yang terjadi di Kepulauan Riau.

“Jika ini diperpanjang terus bisa-bisa terjadi loss generation. Karena siswa tak mendapat pendidikan yang sewajarnya. Banyak kekurangan pendidikan daring dibandingkan pendidikan tatap muka,” kata Faizal.

Hal yang sama juga disampaikan Rona Andaka. Ia mengharapkan, pemerintah memikirkan bagaimana pendidikan di Kepri bisa berlangsung maksimal.

“Karena di APBD, tak nampak anggaran bidang pelatihan guru soal bagaimana menghadapi pendidikan daring ini,” katanya.

Sementara itu, Agus Santika dari RRI Jakarta mengatakan, bahwa anaknya di pesantren di Jawa Barat tak ada masalah soal pendidikan apakah di masa pandemi atau tidak.

Sepertinya menurut Agus, sistem pendidikan model pesantren, dapat mengantisipasi pendidikan selama pandemi. “Mereka lebih siap daripada sekolah umum,” kata dia.

Sedangkan Hengky Mohari mengatakan, sebagai orang tua yang memiliki tiga anak, betapa repotnya selama pendidikan daring. Untungnya mereka bisa menyelesaikan tugas dan pembelajaran yang diberikan guru.

Hanya saja masih terjadi kekurangan dalam proses pembelajaran di kelas online.

“Masih banyak kelemahan di sana sini. Ini harus diselesaikan pemerintah agar tidak mengurangi hak anak dalam mendapatkan pendidikan,” kata dia.

Selanjutnya, Alfiandri lebih menyoroti soal kebijakan pemerintah yang dianggapnya masih prematur soal larangan atau membuka sekolah.

“Harusnya baik gubernur dan wali kota berunding dulu sebelum mengambil kebijakan penting soal masalah pendidikan ini. Jangan asal buka tutup sekolah. Tapi harus didukung dengan data yang baik untuk mengambil keputusan penting,” kata dia.

Sementara itu, Robby Patria lebih menekankan pemerintah, untuk memastikan seluruh guru, siswa, orang tua siswa mendapatkan vaksinasi sebelum dibuka sekolah tatap muka.

Karena menurutnya, jika sekolah tatap muka dibuka tanpa prokes yang ketat maka sangat berisiko. Karena tak semua anak-anak dapat dipantau guru selama di sekolah.

Maskur Tilawahyu juga mengingatkan pemerintah bahwa pendidikan moral tidak dapat diterima anak-anak selama proses daring.

“Ini kelemahan sistem yang harus dicarikan jalan keluarnya. Jika tidak, ini sangat bahaya terhadap generasi yang akan datang,” sebutnya.

Wiliam Hendri menutup kegiatan tersebut dengan catatan penting, menurutnya pendidikan di masa daring ini harus ditata dengan sebaiknya-baiknya agar transfer knowledge dapat berlangsung dengan baik.

“Dan pemerintah mempercepat proses vaksinasi bagi anak-anak usia sekolah agar orang tua tidak ragu melepaskan anaknya ke sekolah,” tutupnya.(zul)

Exit mobile version