Oleh: Robby Patria
1920, seratus tahun lalu, Amerika Serikat menyelenggarakan pemilu setelah pandemi melanda negeri itu dan dunia. Wabah penyakit baru saja berakhir setelah memakan korban dalam hitungan jutaan jiwa.
Calon presiden berjanji untuk mengembalikan kondisi pasca pandemi menuju normal. Itulah janji kampanye calon calon yang ikut pemilu. Setelah kematian, resesi, isolasi, maka calon pemimpin muncul dengan memberi harapan kepada rakyatnya. Apakah itu nanti terwujud, itu urusan lain. Yang jelas, berjanji dulu mendapatkan simpati.
Sekarang di masa pandemi yang kian mengganas, rakyat Indonesia yang akan ikut pilkada di 270 daerah dengan jumlah pemilih 100 juta. Jumlah ini yang akan aktif terlibat kampanye, sosialisasi, dan pencoblosan calon yang mereka pada 9 Desember 2020.
Andaikan partisipasi cuma 50 persen akibat ketakutan pemilih ke TPS, maka masih ada 50 juta yang datang ke TPS memberikan hak suaranya. Mereka berinteraksi di satu hari yang sama.
Ketika Covid-19 itu harus berjarak satu sama lain, ketika mudik saja diimbau jangan balik kampung saat pandemi tak separah sekarang, mengapa pilkada yang pemilihnya tersebar dari kota hingga daerah terpencil pun membuat pesta itu tetap digelar?
Ketua KPU RI Arief Budiman di Kompas Tv dengan yakin mengatakan pilkada tetap dilaksanakan. Dua hari setelah ucapan itu Ia positif Covid-19. Itupun ketika Ia harus menjalani swab untuk masuk Istana Negara. Komisioner KPU Evi Novida juga saat ini dalam proses isolasi karena positif Covid-19.
Komisioner Bawaslu Dewi Ratna sudah melewati masa isolasi dan beraktivitas kembali. Mereka elit papan atas yang taat protokol kesehatan bisa terpapar.
Komisioner KPU dan Bawaslu di Agam, Sumbar juga positif Covid-19 bersama staf mereka. Padahal mereka menggunakan alat pelindung masker. Bagaimana jaminan, rakyat dengan alat pelindung diri masker kain seadanya dapat terhindari dari Covid-19 ketika berkerumun menghadiri kampanye calon.
Yang paling aman di situasi pandemi adalah diam di rumah, pakai masker kalaupun keluar menjaga jarak. Sementara kalau kita lihat kegiatan calon kepala daerah kebanyakan berkumpul. Ya, pilkada itu sarana berkumpul untuk mengenalkan program calon.
Di awal acara memang pakai masker. Tapi di pertengahan acara karena perlu makan, minum kita akan lupa dan melepas masker. Lalu foto bersama dengan calon dan sesama warga. Inilah awal petaka ketika di antara kita ada yang membawa virus berbahaya itu. 60 calon kepala daerah ternyata positif Covid-19.
Mereka tentu berinteraksi dengan pendukung sebelum diperiksa melalui swab. Masalahnya penderita Covid-19 tak menunjukkan gejala sehingga merasa diri kuat. Data di Indonesia, penderita Covid-19 terus melambung.
Menunjukkan belum ada tanda tanda mencapai puncak. Dua hari terakhir di angka lebih dari 3600. Total sudah menembus di atas 236 ribu. Tanpa intervensi yang kuat, saat pilkada di Desember angka diprediksi pakar epidemiologi bisa menembus 600 ribu. Bahkan diprediksi Indo Barometer Pilkada bukan tak mungkin akan menjadi ledakan Covid-19 ketika jutaan orang tersebut terlibat dalam kampanye selama 71 hari jika melanggar protokol kesehatan.
Sekitar 100 juta orang yang akan terlibat interaksi secara langsung selama masa kampanye. Pengamat politik M Qodari pernah menyampaikan jika positivity rate Indonesia 19 persen, maka potensi orang tanpa gejala yang menjadi agen penularan dalam masa kampanye 71 hari ada 19.000.800 orang, hampir 20 juta. Akibatnya kapasitas rumah sakit kita di daerah tak akan sanggup melayani jika itu terjadi. Sangat mengerikan. Semoga tak terjadi ledakan ini.
KPU memang membatasi massa yang hadir dalam kampanye maksimal 100 orang. Namun memastikan 100 orang hadir di saat sosialisasi atau kampanye sulit rasanya. Inilah dilema pilkada di saat pandemi. Memang diperlukan ketegasan aparat pemerintah. Ketika masa pendaftaran calon saja, banyak calon kepala daerah melanggarnya. Apalagi masa masa genting untuk merebut hati pemilih dengan kampanye.
Andaikan yang hadir kampanye membawa surat bebas Covid-19 tentu sangat menarik. Tapi rasanya tak mungkin. Pilkada menurut mereka yang pro akan menyebabkan perputaran roda perekonomian. Rp 35 triliun duit akan beredar. Dan calon kepala daerah bisa melakukan sosialisasi kepada pendukungnya soal penggunaan masker. Karena masker salah satu alat peraga kampanye. Inilah yang dianggap KPU pilkada bisa menjadi agen sosialisasi penggunaan masker meredam virus Covid-19.
Dengan segala risiko potensi ledakan Covid-19, masih ada harapan Mahkamah Konstitusi menunda pilkada. Jika pun putusan MK menolak gugatan itu, maka yang dilakukan hanya tinggal menguji kita taat protokol kesehatan atau tidak.
Dan perlu kita ketahui, virus Corona itu tak nampak. Super kecil. Sehingga virus ini sudah memakan korban 30 juta di seluruh dunia dan mati 955 ribu jiwa. Mendekati 1 juta jiwa. Itulah membuat negara maju babak belur. Dan itupun kita mulai merasakannya.