Site icon Harian Kepri

Tanjungpinang Darurat Kok Bintan Damprat

Buana F Februari-f/istimewa-koleksi pribadi

Oleh : Buana Fauzi Februari
Warga Tanjungpinang

SAYA akan mulai tulisan ini, dengan sepenggal kisah yang maknanya sangat dalam. Tanjungpinang dan Bintan adalah berjiran. Maka menjadi tak elok bila yang satu darurat yang lain damprat.

Dalam melukiskan sebuah keadaan, terkadang memang tak dapat disampaikan secara jernih tanpa kiasan. Ikhwal timbulnya niat menulis opini ini, untuk memberikan pandangan atas apa yang terjadi di kota tercinta Tanjungpinang. Yang pemimpinnya adalah seorang perempuan tangguh yang bernama Rahma.

Alkisah di sebuah negeri, ada dua orang anak beranak yang ingin pergi ke suatu pasar untuk menjual seekor keledai. Keadaan Bapak, Anak, dan keledai itu serba tanggung.

Bapak itu berumur agak lanjut, tetapi masih cukup kuat untuk berjalan. Si Anak sendiri juga tanggung, ia adalah remaja yang belum dapat disebut dewasa, tetapi juga tidak dapat lagi dikatakan anak-anak. Sementara si keledai, adalah keledai yang sehat kuat tetapi badannya berukuran agak kecil.

Selama perjalanannya, sang Bapak, Anak dan si Keledai selalu menjadi sorotan warga kampung yang mereka lalui. Semua tindak tanduk mereka bertiga salah saja di mata orang yang melihat.

Ketika Bapak dan Anak menaiki si keledai mereka dianggap tega menyiksa hewan yang kecil dan lemah. Eh begitu Bapak dan Anak itu berjalan kaki sambil menggiring keledai, justru dianggap bodoh punya tunggangan tak dinaiki.

Saat sang Anak yang menunggang keledai, ia dinilai durhaka pada Bapaknya yang berjalan di usia renta. Sebaliknya, ketika sang Bapak yang naik keledai dan Anaknya berjalan di sisinya, lagi-lagi dianggap Bapak yang tak sayang pada Anak darah dagingnya sendiri.

Kadangkala, ada hal-hal yang bisa membuat terjadinya suatu perbedaan pendapat dalam memandang suatu permasalahan. Jika kita di posisi Si Bapak dan Anak dalam cerita ini, maka seharusnya kita memantapkan tekad, untuk terus berpegang pada keyakinan kita.

Bukankah lebih mudah jika keledai kecil itu ditunggangi secara bersama-sama, dan apabila keledai kelelahan maka mereka semua dapat berhenti untuk beristirahat?

Selain itu, hikmah lainnya adalah kesabaran. Kadangkala dalam hidup ini, meskipun kita mempunyai tujuan yang baik dalam melakukan sesuatu, tetap saja ada orang yang menggunjing dan melihat hal-hal negatif lainnya, yang mungkin tidak dapat dikesampingkan.

Itulah yang terjadi pada Rahma, sang Wali Kota. Akhir-akhir ini Tanjungpinang memang sedang berdengung. Bukan karena ada ekspor pasir ke Singapura, tapi karena status kota ini yang dalam penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat, mulai Senin 12 Juli hingga 20 Juli 2021.

Jadi penerapan PPKM Darurat itu memiliki sejumlah aturan yang lebih ketat, yang bertujuan untuk menurunkan laju penularan Covid-19.

Parameter penetapan perubahan status ini karena Kota Tanjungpinang dengan kasus aktif meningkat signifikan, dan masuk level asesmen 4 (insiden tinggi). Yang artinya angka kasus konfirmasi positif Covid-19 lebih dari 150 orang per 100.000 penduduk per minggu.

Kondisi darurat yang dihadapi Tanjungpinang tak seberuntung Bintan. Walau dalam satu pulau yang sama, Kabupaten Bintan tak disematkan status darurat.

Sehingga, aktifitas warganya lebih sedikit lega. Yang menjadi persoalan kemudian adalah, hilir mudik dan bolak balik warga Bintan ke Tanjungpinang, dan sebaliknya. Yang tersekat ketentuan, harus dalam keadaan negatif Covid-19 dibuktikan dengan hasil swab antigen. Ini menuai kritikan dan dampratan.

Seharusnya Bupati Bintan termasuk Wakilnya, dan segenap anggota DPRD nya yang sebagian besar domisili mereka di Tanjungpinang, sudah menyiapkan langkah antisipatif atas penerapan status PPKM Darurat di Tanjungpinang.

Dan bukan malah seakan-akan terkejut, atau pura-pura baru tahu, ada ketentuan wajib antigen untuk dapat masuk ke wilayah Tanjungpinang.

Adanya ketersediaan sarana tes antigen yang berbayar di pos penyekatan perbatasan, adalah semata-mata sebagai solusi bagi warga yang belum mengantongi bukti negatif Covid-19, dan biaya yang ditimbulkan dari tes antigen tersebut bukan sebagai pungutan retribusi daerah, apalagi pungutan liar.

Sehingga dengan adanya tindakan protes dari Bupati dan Anggota DPRD Bintan menimbulkan pertanyaan, siapa lebih peduli daerahnya? Wali Kota Tanjungpinang yang begitu agresif menjaga wilayahnya dari serangan Covid? atau Bupati Bintan yang tak sportif menerima kenyataan daerahnya berbatasan langsung dengan Tanjungpinang.

Kalau tak mau warganya disusahkan dengan biaya antigen, maka siapkan sarana tes antigen gratis untuk warga Bintan. Gitu aja kok repot.

Balik lagi seperti kisah Bapak, Anak dan Keledai tadi. Rahma sang wali kota kerap dinyinyirin baik di media sosial maupun di kedai kopi tertentu. Karena tak semua kedai kopi perangainya sama, apapun yang dilakukan Rahma selalu dianggap salah.

Padahal sangat sulit mencari pemimpin yang siap dipersalahkan asal warga yang dipimpinnya bahagia, dan Tanjungpinang tetap sehat, ya sesuai namanya Rahma itu Rela Apabila Harus Menghadapi Ancaman. ***

Exit mobile version