Beranda Opini

Tragedi Pelanggaran HAM Berat di Pulau Rempang

0
Komisioner/Ketua Komnas HAM RI ke-8 (2012-2017), Prof Dr Hafid Abbas-f/istimewa

Oleh:
Prof Dr Hafid Abbas
Ketua Komnas HAM RI ke-8 (2012-2017)
Wakil Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) 1997-1999

BEBERAPA hari terakhir ini, media ramai memberitakan proses penggusuran paksa warga di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau. Penggusuran itu menjadi sorotan publik setelah, pada Kamis (7/9/2023), terjadi bentrokan antara aparat Kepolisian, TNI dan Satpol PP dengan warga setempat yang menolak digusur paksa agar meninggalkan tempat pemukimannya.

Akhirnya aparat menggunakan gas air mata untuk memaksanya berpindah.

Bentrokan tidak dapat lagi dihindari, dilaporkan 11 orang korban yang telah dilarikan ke rumah sakit terdekat, 10 di antaranya adalah siswa dan seorang guru. Bentrokan itu terlihat terus berlanjut hingga hari ini, bahkan warga terus melakukan perlawanan ke BP Batam yang mengakibatkan bertambahnya enam orang korban luka-luka (CNNI, 11/09/2023).

Meski demikian, warga dalam wadah Kerabat Masyarakat Adat Tempatan (KERAMAT) Pulau Rempang dan Galang, yang terdampak proyek Eco-City, tetap menolak direlokasi.

Alasannya, mereka sudah berada di sana secara turun temurun sejak Tahun 1834, atau jauh sebelum Indonesia merdeka. Mereka juga meminta aparat agar menghentikan segala bentuk intimidasi kepada masyarakat, dan juga meminta agar negara mengakui hak kepemilikan Tanah Ulayat mereka.

Dari perspektif HAM, kasus penggusuran paksa di Pulau Rempang ini dinilai sebagai bentuk pelanggaran HAM berat dengan dasar berikut.

Pertama, merujuk pada Basic Priciples and Guidelines on Development-Based Eviction and Displacement A/HRC/18, paragraf ke-6, oleh Dewan HAM PBB (2009) dikemukakan:

Forced evictions constitute gross violations of a range of internationally recognized human rights, including the human rights to adequate housing, food, water, health, education, work, security of the person, security of the home, freedom from cruel, inhuman and degrading treatment, and freedom of movement.

Ketentuan PBB ini menyebut penggusuran paksa merupakan pelanggaran HAM berat yang diakui secara internasional, karena hak atas perumahan yang layak, makanan, air, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, kebebasan bergerak dan keamanan adalah hak asasi setiap orang.

Baca juga:  Dermaga Saksi Bisu

Penggusuran paksa adalah perlakuan tidak manusiawi dan perlakuan merendahkan martabat seseorang yang semestinya harus dimajukan, dipenuhi dan dilindungi oleh negara.

Penggusuran harus dilakukan secara sah, hanya dalam keadaan luar biasa, dan sepenuhnya harus sesuai dengan aturan HAM internasional dan hukum humaniter.

Kedua, pada Fact Sheet No. 25/Rev.1 yang dikeluarkan oleh PBB pada 2014 tentang Penggusuran Paksa (Forced Evictions), dinyatakan bahwa: Forced evictions violate, directly and indirectly, the full spectrum of civil, cultural, economic, political and social rights enshrined in international instruments.

Kasus penggusuran paksa warga di Pulau Rempang dinilai sebagai pelanggaran HAM berat baik secara langsung atau tidak karena menyentuh seluruh aspek hak sipil, budaya, politik dan sosial yang dilindungi oleh hukum HAM internasional.

Ketiga, merujuk pada Undang-undang No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM penggusuran paksa bagi sekitar 7500 warga Pulau Rempang, agar berpindah dari tempat pemukimannya ke pulau lain atau ke tempat lain (population transfer), pemaksaan eksodus massal, yang menyebabkan warga tercabut dari akar kehidupan sosial budaya dan komunitasnya.

Pemindahan dan pengusiran secara paksa anak-anak dan kelompok penduduk asli Melayu, Orang Laut, dan suku lainnya yang mendiami 16 Kampung Tua di Pulau Rempang dapat dikategorikan sebagai kejahatan genosida (Pasal 8 ayat e), dan kejahatan atas kemanusiaan (Pasal 9 ayat d).

Tanggung Jawab Negara

Sesuai dengan Prinsip-prinsip Dasar dan Panduan HAM internasional yang telah diadopsi oleh Dewan HAM PBB (A/HRC/18), disebutkan antara lain: Negara harus memastikan bahwa penyelesaian hukum yang efektif atau tepat tersedia untuk setiap orang yang mengklaim bahwa haknya atas perlindungan terhadap penggusuran paksa telah dilanggar atau terancam dilanggar.

Negara harus menahan diri untuk tidak melakukan langkah-langkah retrogresif yang disengaja sehubungan dengan perlindungan de jure atau de facto terhadap penggusuran paksa; dan Negara harus mengakui bahwa terdapat larangan penggusuran paksa termasuk pemindahan sewenang-wenang yang mengakibatkan perubahan komposisi etnis, agama atau ras dari populasi yang terkena dampak.

Baca juga:  Pentingnya Terobosan dan Sinergitas Dalam Membasmi Karhutla

Terkait dengan aspek ini, komposisi penduduk di Pulau Rempang tidak boleh berubah, misalnya mereka digantikan dengan warga pendatang dari etnis Jawa, China atau Batak, dan lain sebagainya.

Selanjutnya, negara harus memastikan bahwa penggusuran paksa hanya terjadi dalam keadaan luar biasa. Penggusuran harus dihindari semaksimalnya karena menimbulkan berbagai ragam dampak buruk dari aspek HAM yang diakui secara internasional.

Penggusuran paksa hanya dapat dibenarkan apabila: dibenarkan oleh dasar hukum yang mengikat; dilakukan sesuai dengan hukum HAM internasional; dilakukan semata-mata untuk tujuan memajukan kesejahteraan umum bagi warga miskin; dapat diterima akal sehat dan proporsional; dan, dilakukan setelah adanya kepastian perolehan kompensasi dan rehabilitasi penuh dan adil (paragraf 21).

Karenanya, penggusuran paksa warga di Pulau Rempang tidak boleh dilakukan hanya atas dasar keinginan atau keputusan seorang Menteri atau bupati, tetapi harus didasarkan pada undang-undang.

Jika penggusuran itu terpaksa harus dilakukan maka terlebih dahulu harus dipastikan bahwa dilakukan semata-mata untuk tujuan memajukan kesejahteraan umum bagi warga di Pulau Rempang, dan dapat dilakukan setelah adanya kepastian kesepakatan perolehan kompensasi dan rehabilitasi penuh dan adil.

Pelaksanaan Penggusuran Paksa

Sekiranya semua ketentuan yang digariskan oleh PBB tersebut sudah terpenuhi, dan penggusuran paksa sudah dapat dilakukan, maka prinsip-prinsip berikut tetap harus diperhatikan.

Pertama, penggusuran tidak boleh dilakukan dengan cara yang melanggar kehormatan dan HAM mereka atas kehidupan dan keamanan. Negara juga harus mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa perempuan tidak menjadi korban kekerasan dan diskriminasi selama pengusuran, dan hak asasi anak dilindungi (paragraf 47).

Kedua, setiap upaya paksa yang dibenarkan secara hukum harus tetap menghormati asas-asas proporsionalitas dan kebutuhan, serta Prinsip-Prinsip Dasar tentang Penggunaan Senjata Api oleh Pejabat Penegak Hukum atau sesuai dengan aturan setempat yang sesuai dengan penegakan hukum internasional dan standar HAM (paragraf 48).

Baca juga:  Ratusan Warga Melayu Rempang Gelar Aksi Tolak Penggusuran

Ketiga, penggusuran tidak boleh terjadi dalam cuaca buruk, pada malam hari, selama hari raya atau hari libur keagamaan, sebelum penyelenggaraan Pemilu atau Pemilukada, atau selama atau sesaat sebelum jadwal anak-anak mereka mengikuti ujian sekolah (paragraf 49).

Ironis memang, upaya penggusuran paksa yang dilakukan di Pulau Rempang pada 7 September 2023 lalu, terlihat dilakukan pada saat-saat anak tengah belajar di sekolah sehingga sebagian di antaranya terkena dengan semprotan gas airmata.

Terakhir, sekiranya, penggusuran paksa telah dilakukan sesuai dengan ketentuan panduan HAM PBB, pada fase pasca penggusuran perlu diperhatikan, antara lain: tempat relokasi yang teridentifikasi harus memenuhi kriteria sebagai perumahan yang dinilai layak huni sesuai dengan hukum HAM internasional.

Ini termasuk: keamanan kepemilikan; layanan, bahan, fasilitas dan infrastruktur seperti air minum, energi untuk memasak, penerangan, fasilitas sanitasi dan mencuci, sarana penyimpanan makanan, pembuangan sampah, drainase dan pelayanan jika terjadi situasi darurat, dan ketersediaan fasilitas umum yang memadai.

Kemudian, perumahan yang terjangkau, perumahan layak huni menyediakan ruang yang memadai bagi penghuni, terlindung dari cuaca dingin, lembab, panas, hujan, angin atau ancaman lain terhadap kesehatan, bahaya struktural dan penyakit, dan memastikan keamanan fisik penghuni.

Aksesibilitas untuk kelompok yang disabilitas, akses ke pilihan pekerjaan, layanan perawatan kesehatan, sekolah, sarana pengasuhan anak dan fasilitas sosial lainnya, baik di daerah perkotaan atau pedesaan; dan perumahan yang layak secara budaya.

Untuk memastikan keamanan rumah, perumahan yang memadai juga harus mencakup unsur-unsur penting berikut: privasi dan keamanan; partisipasi dalam pengambilan keputusan; bebas dari kekerasan; dan terdapat akses ke pemulihan dan perawatan kesehatan akibat penggusuran yang telah dialami (paragraf 55).

Sekiranya satu negara abai mematuhi ketentuan internasional ini dalam melakukan penggusuran paksa bagi warganya, negara itu dapat menjadi musuh bersama masyarakat internasional. (***)

example banner

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini