TANJUNGPINANG (HAKA) – Wakil Gubernur (Wagub) Kepulauan Riau (Kepri) Isdianto menyebut, defisit anggaran yang terjadi pada APBD Perubahan 2018 ini, tak semata-mata disebabkan karena dana perimbangan dari pemerintah pusat.
Menurutnya, ada dua faktor lainnya yang menjadi pemicu terjadinya defisit di APBD-P 2018 ini. Adapun total defisit yang dialami APBD P 2018 ini diprediksi Rp 307 miliar.
“Pertama karena OPD penghasil tidak mampu mencapai target, dan PAD kita juga tidak sepenuhnya mencapai target,” ujarnya, di Kantor Gubernur Provinsi Kepri, Pulau Dompak, Selasa (17/7/2018).
“Mereka (OPD, red) penghasil memasang target pendapatan yang terlalu tinggi,” ucapnya.
Namun, dalam realisasinya target tersebut justru tidak mampu terpenuhi. Salah satunya kata dia seperti Dinas Perhubungan (Dishub) Kepri yang memasang target PAD hingga Rp 60 miliar dari sektor labuh jangkar. Tapi, sejak dua tahun terakhir target tersebut tidak pernah terealisasi.
“Itu salah satunya, OPD-OPD penghasil PAD lainnya kondisinya rata-rata seperti itu,” sebutnya.
Sementara, itu tidak tercapainya target penerimaan PAD pada semester ini disebabkan karena adanya pengaruh harga minyak dari Pertamina. Sehingga, kata dia otomatis langsung berdampak pada target penerimaan PAD. Meskipun, ada peningkatan hasil dari program pemutihan pajak.
“Target PAD ini, kalau mandek saja satu sektor maka akan langsung berdampak pada pendapatan lainnya,” kata Mantan Kepala Badan Pengelolaan Pendapatan Restribusi Daerah (BP2RD) Provinsi Kepri ini.
Secara akumulatif lanjutnya, defisit APBD-P tahun 2018 ini, untuk dana perimbangan diprediksi menyumbang sekitar Rp 100 miliar, tidak tercapainya target OPD penghasil diperkirakan Rp 200 miliar lebih, dan PAD sebesar Rp 10 hingga Rp 15 miliar.
“Jadi akumulasi dari itulah yang menyebabkan defisit sampai segitu (Rp 307 miliar),” tuturnya.
Ke depan kata dia, khusus untuk OPD penghasil PAD diharapkan tidak terlalu muluk-muluk dalam menentukkan target. Dalam waktu dekat ini juga kata dia, ia akan memanggil seluruh OPD penghasil tersebut untuk sama-sama mencari solusi atas permasalahan yang terjadi saat ini.
“Kalau memang tidak mungkin tercapai, lebih baik ke depannya dikeluarkan saja dari nomenklatur,” tukasnya.(kar)